Apakah Yang Dimaksud Fajar Sidik

Oleh Hendro Setyanto


Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menggelar kajian baku tentang cahaya fajar dan sediakala waktu Shubuh di Indonesia secara berderet-deret dalam 8 bulan sejak Syawwal 1441 H (Juni 2022) hingga Jumadal Akhirah 1442 H (Februari 2022).


Kajian cahaya subuh dan sediakala periode Shubuh diselenggarakan kurnia menjawab pertanyaan terkait dinamika cahaya pagi buta dan tadinya waktu Shubuh di Indonesia, khususnya berpunca sudut pandang Nahdlatul Ulama. Telah diketahui terbitnya cahaya subuh merupakan penanda mulanya waktu Shubuh.


Kajian tersebut melibatkan para peneliti Nahdlatul Cerdik pandai di bidang hobatan horizon dan ilmu fiqih yang telah menggeluti topik cahaya fajar di Indonesia privat suatu dekade buncit. Beberapa di antara peneliti ilmu falak tersebut adalah pionir n domestik penelitian di bidang ini.


Cahaya fajar merupakan dagangan penyinaran matahari secara enggak langsung, di mana matahari belum pecah namun taris cahayanya telah sampai di meres bumi akibat sifat visual atmosfer dunia. Selain menandai tadinya periode Shubuh, terbitnya kurat fajar juga menjadi awal periode puasa sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187.


Pengamatan terang fajar bagi menentukan kriteria awal waktu Shubuh adalah selaras dengan penglihatan Nahdlatul Ulama bahwa perian-hari ibadah yang beralaskan lega fenomena langit tertentu sebaiknya diamati alias dirukyah. Inilah yang melambari aktivitas
rukyatul hilal
yang sudah lalu menjadi agenda rutin LFNU guna menentukan awal wulan takwim Hijriyyah setiap bulan (bukan rendah pada Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah).


Demikian juga pengamatan Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan guna menentukan masa shalat gerhana. Berbeda dengan
rukyatul hilal
, tak terserah perintah syar’i bakal menyelenggarakan pengamatan matahari secara terus menerus faedah menentukan waktu shalat, sehingga pengamatan kedudukan matahari enggak bersifat
ta’abuddi. Namun pada saat-saat tertentu secara periodik pengamatan digelar sebagai bagian dari upaya kehati-hatian privat menjaga hasil rekapitulasi periode shalat agar setia konsisten dengan posisi matahari nan menjadi acuannya.

Waktu shalat Shubuh


Amatan kilauan fajar dan mulanya waktu Shubuh Rajah Falakiyah PBNU bertumpu lega dua disiplin ilmu, yakni hobatan fiqih dan ilmu falak. Hasil amatan mantra fiqih menyimpulkan terdapat dua jenis dini hari, yakni
dini hari kadzib
(fajar semu) dan
fajar shadiq
(fajar substansial).
Dini hari shadiq
menjadi penentu awal berpuasa dan sediakala hari Shubuh seperti disebutkan intern hadits riwayat Anak laki-laki Khuzaimah.


Menurut riwayat Hakim dari hadits Jabir terdapat hadits serupa dengan tambahan tentang dini hari yang diperbolehkan memakan kandungan sebagai “subuh yang mundur di ufuk.” N domestik riwayat tidak disebutkan “anda begitu juga ekor anjing hutan.”


Jumhur
ulama cocok awal masa Shubuh ditandai makanya terbitnya
dini hari shadiq. Baik dalam pandangan
fukaha
klasik maupun kontemporer. Terbitnya
subuh shadiq
terjadi plong tahun
gholas, yaitu waktu gelap di akhir lilin batik yang bercampur cahaya fajar. Momen musim
gholas
maka seseorang belum bisa mengenali wajah orang lain di sampingnya. Keadaan ini diterangkan internal
Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman,  juz 1 shaf 33.


Jumhur
ulama juga sepakat tahun Shubuh dimulai sejak terbitnya
fajar shadiq
dan berpisah puas saat terbitnya matahari. Kecuali Imam Qosim dan sebagian ashab Syafi’i yang berpendapat berakhirnya periode Shubuh plong saat
ishfar.


Para ulama berlainan pendapat tentang waktu terbaik lakukan menunaikan shalat Shubuh. Sebagian ulama khususnya semenjak mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat menyegerakan shalat Shubuh pada waktu
gholas. Demikian lagi Syaikh Wahbah az–Zuhaili dan Imam Thantawi. Tentatif sebagian lainnya, seperti para cerdik pandai mazhab Hanafi dan Imam ath–Thabari lebih mengutamakan pada waktu
ishfar. Musim
ishfar
adalah waktu kilauan buram, ialah ketika langit telah kekuning-kuningan sehingga urut-urutan-urut-urutan dan lingkungan berangkat terlihat.


Definisi
subuh shadiq
dijelaskan cukup lengkap privat sejumlah hadits Utusan tuhan. Internal kejadian ini pendapat para ulama tentang identitas
fajar shadiq
terbagi menjadi tiga. Pendapat mula-mula bersandar pada Ibnu Abbas RA dan tidak–lain, yaitu
dini hari shadiq
adalah kilat yang sudah cukup seri di ufuk timur dan memadai binar sehingga sudah menerangi puncak-puncak pegunungan / perbukitan. Padahal pendapat kedua berasal dari Pendeta Ghazali dan lain-lain, di mana
fajar shadiq
adalah pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang hambur secara horizontal (paralel) terhadap t dan mudah dikenali ain.


Dan pendapat yang ketiga berpokok berbunga al-Zamakhsyari, Fakhruddin ar-Razi dan enggak–lain, yakni
pagi buta shadiq
yaitu kilap selain
pagi buta kadzib
yang sudah muncul di ufuk timur meskipun masih kecil (ambigu). Jika diurutkan, maka terangnya panah
subuh shadiq
dalam pendapat permulaan adalah patut semarak, privat pendapat kedua ialah pendar dan privat pendapat ketiga adalah problematis.


Pater Ghazali menyebutkan
fajar shadiq
tiba terbit pada 2
manzilah
sebelum terbitnya Matahari (thulu’us syams). Ulama yang enggak berpendapat terbitnya
fajar shadiq
bila dikira-kirakan terjadi 1 jam 30 menit sebelum terbitnya matahari. Rentang musim yang setara dengan membaca Al-Qur’an 3 juz secara perlahan ataupun setolok 1/8 malam.


Identitas
fajar shadiq
sebagai pancaran cahaya tipis kudus kerdil (samar) di n timur menjadi definisi operasional yang memedomani pengamatan-pengamatan cahaya dini hari dalam hobatan falak.


Tentang dalam amatan ilmu falak, atmosfer Bumi mempunyai sifat okuler yang mampu membiaskan, menghamburkan dan menyerap berkas cahaya matahari. Atmosfer yakni madya bening berlapis-lapis dengan kerapatan yang berlainan-beda bakal setiap lapisan. Maka setiap lapisan atmosfer memiliki indikator biasnya seorang  dan membiaskan berkas pendar nan melaluinya. Bebat panah berbunga ruang angkasa yang datang akan dibiaskan berorientasi garis konvensional. Sehingga berkas cahaya tersebut boleh tiba pada sebuah titik di permukaan bumi walaupun matahari belum terlihat secara langsung.


Kemampuan atmosfer Bumi bikin menghamburkan jaras kirana Matahari ditopang oleh adanya zarah-molekul (Nitrogen dan Oksigen) serta
partikulat
mikro. Hamburan oleh atmosfer tersebut menyebabkan langit nampak berwarna biru di siang hari dan kemerah-merahan di saat fajar/senja. Adapun kemampuan bentangan langit Bumi untuk menyerap bebat cahaya Matahari disebabkan maka dari itu kandungan molekul tertentu (terutama Ozon). Molekul Ozon menyerap berkas cahaya Syamsu sehingga lebih melalukan komponen terang biru dibanding onderdil tak. Pergaulan ketiga faktor tersebut menjelang Matahari terbit berputra
fajar
shadiq.

Pagi buta Shadiq dan Fajar Kadzib


Secara kualitatif
subuh shadiq
merupakan kilat tipis berkedudukan mengufuk terhadap t dan kian bertambah cuaca seiring musim. Sebelum hadirnya
subuh shadiq,
fajar kadzib
akan menghiasi langit timur justru dahulu.
Fajar kadzib
ialah kurat berintensitas lemah (dibanding fajar shadiq) takhlik struktur mirip segitiga sama nan khas dan menjulang sepanjang garis ekliptika. Sungguhpun ketekunan pendar
fajar kadzib
juga meningkat secara perlahan seiring waktu belaka tidak kombinasi seterang cahaya
fajar shadiq. Saat
fajar shadiq
berasal maka terjadi bertumpukan dengan cahaya
fajar kadzib.


Selain mata, pengamatan
fajar shadiq
dan
dini hari kadzib
boleh pula dilaksanakan dengan instrumen modern sebagai halnya kamera digital dan perabot pengukur kecerlangan langit seperti
Sky Quality Meter
(SQM). Kamera digital dapat merekam langit timur secara tunak dari musim ke periode. Dengan metode olah-foto (citra) intensitas cahaya langit bisa diperoleh. Adapun SQM sebagai sebuah alat ukur menghasilkan kredit intensitas kilauan secara langsung.


Nilai–nilai tersebut membentuk kurva sinar kecerlangan langit (sky brightness) seiring waktu. Dalam kurva cahaya tersebut
subuh kadzib
terlihat punya acuan linear temporer fajar shadiq mewujudkan ideal eksponensial. Pola linear kerumahtanggaan
fajar kadzib
merupakan pelecok satu temuan para penyelidik Nahdlatul Ulama nan belum persaudaraan dijumpai sebelumnya maka itu peneliti lain. Terbitnya
fajar shadiq
dengan peningkatan intensitas cerah yang lebih osean dibanding peningkatan linier khas
fajar kadzib
dan ialah bagian dari teladan eksponensial.

Peningkatan tersebut akan tertentang seumpama titik pasung dalam kurva, yang dinamakan titik belok fajar (TBF). Apabila
fajar kadzib
tidak terdeteksi bilamana pengamatan maka nan terbentuk adalah titik belok kurva (TBK). Dalam kondisi normal maka nilai TBK akan sangat erat dengan biji TBF. Tapi bila lokasi pengamatan terganggu, maka skor TBK akan berbeda terhadap nilai TBF.


Amatan lagi menunjukkan bahwa pengamatan
fajar shadiq
tidak boleh dilaksanakan di sembarang lokasi, sembarang waktu dan rawak kondisi atmosfer. Lokasi pengamatan moga gelap dengan skala
Bortle
maksimum 3. Lokasi pengamatan tak boleh terganggu sendang cahaya imitasi, baik nan bersifat permanen begitu juga kota dan pemukiman hingga yang berperangai temporer seperti lampu kilat kendaraan. Dan bentangan langit lega lokasi pengamatan juga lain boleh tertutupi sebaran mega baplang.

Apabila ketiga faktor tersebut hadir di lokasi pengamatan, baik seorang-sendiri maupun bersama-sebabat, maka titik belok kurvanya akan bergeser layak jauh terhadap titik belok fajar. Dengan alas kata lain bila ketiga faktor tersebut tak diperhitungkan, maka kurva kecerlangan langit di lokasi tersebut akan menghidangkan hasil yang mengecoh (false) dan dapat diikuti dengan penafsiran yang keliru.


Para peneliti Nahdlatul Jamhur menunggangi beragam metode kekuatan menentukan TBF. Mulai dari kajian
gradien, kajian nilai modus, analisis okuler, analisis
solver
dan pendekatan fungsi linear. Dalam berbagai rupa pengamatan setempat-setempat dan mandiri sejak 2010 sampai 2022 diperoleh 37 data yang tak terganggu dengan bintik kungkung kurva lebih kecil daripada negatif 18º. Diseminasi lokasi pengamatan menginjak dari pulau Jawa (Madiun, Klaten, Pati, Rembang, Banyuwangi), pulau Bawean setakat kepulauan Nusa Tenggara (Labuhan Bajo, Kolbano).


Di privat 37 data tersebut terletak 17 data dengan
fajar kadzib
terlihat. Sehingga bintik beloknya merupakan bintik belok fajar.  Nilai rata–rata berusul 17 data tersebut adalah subversif 19,89º +- 0,40º (negatif 19º 54’ +- 0º 24’). Sebaliknya terletak 20 data dengan
fajar kadzib
yang enggak kelihatan, maka titik beloknya merupakan titik pasung kurva semata. Kredit rata–rata mulai sejak 20 data tersebut adalah subversif 19,48º +- 1,07º (merusak 19º 29’ +- 1º 04’). Berlandaskan sreg skor rata–rata dan deviasi standar di antara dua kelompok data tersebut, maka dari sudut pandang statistika dapat disimpulkan kedua kelompok data memiliki bintik belok nan seimbang. Maka kedua kelompok tersebut merupakan suatu ahadiat.


Ibarat suatu kesatuan data, di dalam 37 data tersebut dijumpai 8 data yang punya nilai titik belok lebih boncel berbunga subversif 20º. Bila berpijak lega prinsip persamaan batas dengan nilai terendah seperti diadopsi dalam pembentukan patokan visibilitas hilal, patut rasional bahwa bintik pasung terendah dari seluruh data adalah 21º. Maka dari tesmak pandang guna-guna t, bintik pasung ini yakni
fajar shadiq
yang disimpulkan berpunca kajian fiqih andai telah munculnya cahaya samar paling kecil di tutul
azimuth
tempat Surya akan terbit, mengacu pada pendapat Imam Fakhruddin ar–Razi, az–Zamakhsyari dan lain–tak.

Doang dalam kajian fiqih pun dikenal langkah pengamanan sebagai putaran dari kehati-hatian dan menjamin
fajar shadiq
memang sudah benar-benar berusul. Langkah pengamanan yang membumi adalah dengan menambahkan 1º makin tinggi dibanding biji negatif 21º. Maka tinggi syamsu negatif 20º ialah lebih tepat dan menjadi penggalan dari kehati-hatian.

Sehingga dapat disimpulkan kriteria awal musim Shubuh dengan kredit tinggi Matahari negatif 20º tetap digunakan. Sebab memiliki landasan guna-guna fiqih dan ilmu falak yang abadi. Mulai sejak sisi hobatan fiqih, standar tersebut sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para
shalafus shalih
dan para
auliya. Terbitnya
fajar shadiq
merupakan penentu tadinya masa Shubuh dalam pendapat
jumhur
jamhur. Identitas
fajar shadiq
adalah sebagai sinar nirmala katai (samar) di ufuk timur yang menyebar secara mengufuk terhadap ufuk. Turunan definisi tersebut di jihat ilmu falak dengan berdasarkan lega pengamatan terkini di Indonesia mengikhtisarkan
fajar shadiq
terbit puas tinggi Rawi negatif 20º.


Syaikh al–Dimyathy dalam Hasyiyah ’Ianah at-Thalibin juz 1 shaf 115 mengistilahkan pelecok suatu pedoman keabsahan suatu ibadah merupakan keagamaan pada diri yang melaksanakan ibadah dan ibadah tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan tepat pada waktunya. Diperlukan data pengamatan fajar yang abstrak terbit lokasi yang teoretis lagi cak bagi semakin memekakkan religiositas tersebut internal penentuan awal periode Shubuh.


Dengan demikian kriteria awal masa Shubuh di Indonesia berdasarkan tingkatan Rawi negatif 20º n kepunyaan landasan ilmiah yang kuat karena didukung data hasil pengamatan. Data-data tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena diperoleh dari pengamatan dengan bineka instrumen dan nilainya tautologis-ulang dijumpai intern hari dan panggung yang berlainan-selisih.


Sehingga standar tadinya waktu Shubuh di Indonesia tegar dapat merujuk ke kriteria nan dipedomani Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Agama RI. Dengan demikian Umat Islam di Indonesia dapat ki ajek menjalankan ibadah Shubuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman. Pemukim Nahdlatul Ulama kembali tegar dapat memperalat jadwal shalat dan jadwal imsakiyah Ramadhan yang disusun oleh Bentuk Falakiyah Nahdlatul Ulama. Karena menggunakan kriteria awal waktu Shubuh yang proporsional.


Mengutip pernyataan Hendro Setyanto, M.Si. Astronom & Ketua muda Rangka Falakiyah PBNU) menyebutkan: “Mengamati pagi buta shadiq sonder mengelaborasi seluas mungkin ibarat orang buta menganalisa gajah. Sepatutnya kita terlazim menganalisa dengan seksama dari semua aspek yang terkait dengan kemunculan fajar shadiq. Tak terkecuali dini hari kadzib. Hadist Rasul SAW secara bukan langsung mengindikasikan perlunya mengenali kemunculan fajar kadzib.”.
Wallahua’lam.


Carik ialah Wakil ketua Bagan Falakiyah PBNU

Source: https://www.nu.or.id/opini/tentang-cahaya-fajar-dan-awal-waktu-shubuh-NOfeA