Asbabun Nuzul Surah Ad Dhuha
وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3) وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى (4) وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى (5) أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى (6) وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى (7) وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَى (8) فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ (9) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (10) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ (11)
Demi waktu matahari yang sepenggalah naik, dan demi lilin batik apabila telah mati, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (lagi) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu kian baik bagimu ketimbang permulaan. Dan kelak Tuhanmu pasti mengasihkan anugerah-Nya kepadamu, lewat (hati) kamu menjadi puas. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, habis dia melindungimu. Dan Beliau mendapatimu sebagai koteng yang histeris, lalu Sira menyerahkan petunjuk. Dan ia mendapatimu bak seorang nan kekurangan, lalu Beliau memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku totaliter. Dan terhadap orang nan minta-minta, maka janganlah kamu men-hardiknya. Dan terhadap lezat Tuhanmu, maka hendaklah dia memanggil-nyebutnya (dengan bersyukur).
Pater Ahmad mengatakan, mutakadim menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah menceritakan kepada kami Sufyan, bersumber Al-Aswad anak laki-laki Qais nan mengatakan bahwa ia kekeluargaan mendengar Jundub menceritakan bahwa Utusan tuhan Saw. mengalami sakit sejauh satu maupun dua malam sampai beliau enggak melakukan qiyamul lail. Maka datanglah kepadanya seorang wanita dan berucap, “Hai Muhammad, menurut hematku setanmu itu tiada tidak mutakadim meninggalkanmu,” maksudnya malaikat yang mengapalkan nubuat kepadanya. Maka Allah Swt. mengedrop firman-Nya:
Demi waktu mentari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah senyap. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Turmuzi, Imam Nasai, Pendeta Ibnu Abu Hatim, dan Rohaniwan Ibnu Jarir mutakadim meriwayatkan perkataan nabi ini melalui heterogen jalur semenjak Al-Aswad ibnu Qais, dari Jundub bani Abdullah Al-Bajali nan pula dikenal kembali dengan Al-Alaqi dengan sanad nan sama. Menurut riwayat Sufyan ibni Uyaynah, dari Al-Aswad ibni Qais, disebutkan bahwa sira pernah mendengar Jundub mengatakan bahwa Malaikat Jibril nomplok terlambat kepada Rasulullah Saw., maka insan-orang musyik mengatakan, “Muhammad ditinggalkan oleh Tuhannya.” Maka Tuhan mengedrop firman-Nya:
Demi waktu matahari sepenggalah panjat, dan demi lilin lebah apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada pergi kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, mutakadim mengobrolkan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj dan Amr ibnu Abdullah Al-Audi, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah menceritakan kepadaku Sufyan, mutakadim membualkan kepadaku Al-Aswad ibnu Qais; ia nikah mendengar Jundub mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah dilempar dengan batu hingga mengenai jari tangannya sampai berbakat, maka beliau mengucapkan kalimat berikut:
Tiadalah engkau selain dari jari tangan yang berdarah, di jalan Almalik padahal dia mengalaminya.
Lalu Rasulullah Saw. tinggal selama dua atau tiga malam tanpa mengamalkan qiyamul lail (salat sunat lilin lebah hari). Maka ada seorang wanita (musyrik) yang berbicara kepadanya, “Menurutku tiada bukan setanmu telah meninggalkanmu.” Maka turunlah firman Allah Swt.:
Demi waktu mentari sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3)
Menurut konteks hadis yang ada pada Abu Sa’id, suatu pendapat mengatakan bahwa wanita tersebut ialah Jamil, istri Debu Lahab. Disebutkan pun bahwa jemari tangan engkau Saw. terluka. Dan adapun sabdaNabi Saw. di atas simultan dengan wazan syair telah disebutkan di n domestik kitab Sahihain. Akan tetapi, hal yang aneh n domestik hadis ini yakni jejas di empu jari itu menjadi penyebab engkau Saw. memencilkan qiyamul lailnya dan juga menjadi turunnya dokumen ini.
Adapun menurut segala apa yang mutakadim diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, telah mengobrolkan kepada kami Anak lelaki Abusy Syawarib, sudah lalu membualkan kepada kami Abdul Wahid bani Ziyad, telah menceritaka’falak kepada kami Sulaiman Asy-Syaibani, dari Abdullah ibnu Syaddad, bahwa Siti Khadijah bersuara kepada Nabi Saw., “Menurut irit saya, Tuhanmu mutakadim meninggalkan kamu.” Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Demi waktu rawi sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah senyap. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (sekali lagi) benci kepadamu.
(Adh-Dhuha: 1-3)
Anak lelaki Jarir mengatakan juga bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Waki’, berasal Hisyam ibnu Urwah, berpangkal ayahnya yang mengatakan bahwa Malaikat Rohulkudus menclok tertinggal kepada Nabi Saw. Maka nabi Saw. merasa silam kalut karenanya, suntuk Siti Khadijah mengatakan, “Sebenarnya aku mengawasi Tuhanmu telah meninggalkan engkau, karena aku mengawasi kegelisahanmu nan berat.” Urwah menyinambungkan kisahnya, bahwa maka turunlah firman Allah Swt.:
Demi tahun matahari sepenggalah naik dan demi malam apabila sudah sunyi. Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 1-3) hingga penghabisan dokumen.
Maka sesungguhnya perbuatan nabi nabi muhammad ini berpredikat mursal semenjak kedua jalur tersebut. Kelihatannya artikulasi Khadijah bukanlah berdasarkan mahfuz, ataupun memang dia terlibat dan mengatakannya dengan irama menyesal dan bersedih lever; hanya Allah sajalah Yang Maha Memafhumi.
Sebagian cerdik pandai Salaf —antara lain Bani Ishaq— menyebutkan, bahwa piagam inilah yang disampaikan oleh Jibril a.s. kepada Utusan tuhan Saw. ketika Jibril a.s. menampakkan rupa aslinya kepada Nabi Saw. dan datang mendekatinya, lalu turun cenderung kepada kamu Saw. yang saat itu anda sedang berada di Lembah Abtah, sama dengan nan disebutkan firman-Nya:
Lalu beliau menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. (An-Najm: 10)
Ibni Ishaq mengatakan bahwa saat itulah Jibril menyampaikan kepada Rasulullah Saw. surat ini nan diawali oleh firman-Nya:
Demi periode rawi sepenggalah naik, dan demi malam apabila telah sunyi. (Adh-Dhuha: 1 -2)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa setelah diturunkan kepada Rasul Saw. permulaan tajali Al-Qur’an, maka Jibril cak bertengger terlambat sejumlah perian dari Utusan tuhan Saw. sehingga roman muka beliau Saw. berubah terharu hasilnya. Dan orang-orang musyrik mengatakan, “Ia telah ditinggalkan makanya Tuhannya dan dibenci.” Maka Allah Swt. memangkalkan firman Allah Swt.:
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (juga) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3) Ini merupakan kutuk dari Allah Swt. dengan menegur waktu duha dan cahaya yang Kamu ciptakan padanya.
{وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى}
dan demi malam apabila telah hening. (Adh-Dhuha: 2)
Yakni bila telah tenang dan gelap buta. Demikianlah menurut Mujahid, Qatadah, Ad-Dahhak, Bani Zaid, dan lain-lainnya. Hal ini menunjukkan akan kekuasaan Sang pencipta Yang Maha Pencipta, dan merupakan bukti yang jelas juga gamblang. Makna ini sama dengan segala apa nan disebutkan di n domestik ayat lain melangkaui firman-Nya:
{وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى}
Demi malam apabila meliputi (cahaya siang), dan siang apabila binar benderang. (Al-Lail: 1-2)
Juga seperti mana firman Yang mahakuasa Swt.:
فالِقُ الْإِصْباحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَناً وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْباناً ذلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan lilin lebah untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Halikuljabbar Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am: 96)
Akan halnya firman Allah Swt.:
{مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ}
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu. (Adh-Dhuha: 3)
Artinya, Dia tidak meninggalkanmu.
{وَمَا قَلَى}
dan tiada (lagi) benci kepadamu. (Adh-Dhuha: 3)
Yakni Kamu tidak murka kepadamu.
{وَلَلآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الأولَى}
dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan. (Adh-Dhuha: 4)
Sesungguhnya provinsi akhirat itu makin baik bagimu daripada provinsi ini (dunia). Karena itu, Rasulullah Saw. adalah bani adam nan paling zuhud terhadap perkara dunia dan paling menjauhinya serta minimal lain menyukainya, sebagaimana yang sudah lalu dimaklumi dari avontur hidup sira Saw. ketika Rasul Saw. disuruh melembarkan di usia senjanya antara usia kekal di manjapada sampai akhir spirit mayapada —kemudian ke kayangan— dan antara kembali ke sisi Almalik Swt. Maka beliau Saw. memilih apa yang ada di arah Allah tinimbang mayapada nan minus ini.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ، حَدَّثَنَا الْمَسْعُودِيُّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ مُرَّةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخعِي، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ -هُوَ ابْنُ مَسْعُودٍ-قَالَ: اضْطَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حَصِيرٍ، فَأَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ جَعَلْتُ أَمْسَحُ جَنْبَهُ وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا آذَنْتَنَا حَتَّى نَبْسُطَ لَكَ عَلَى الْحَصِيرِ شَيْئًا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “ما لِي وَلِلدُّنْيَا؟! مَا أَنَا وَالدُّنْيَا؟! إِنَّمَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا كَرَاكِبٍ ظَلّ تَحْتَ شَجَرَةٍ، ثُمَّ راح وتركتها
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, mutakadim membualkan kepada kami Al-Mas’udi, dari Amr anak laki-laki Murrah, dari Ibrahim An-Nakha’i, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. berbaring di atas hamparan lampit sehingga anyaman tikar nan kasar itu membekas di lambungnya. Ketika ia kambuh berpokok berbaringnya, maka aku (Bani Mas’ud) menyapu kandungan anda dan kukatakan kepadanya, “Wahai Rasulullah, izinkanlah kepada kami untuk menggelarkan kasur di atas tikarmu.” Maka Rasulullah Saw. menjawab:
Apakah hubungannya antara aku dan dunia, sememangnya perumpamaan antara aku dan dunia tiada bukan bak seorang musafir nan berteduh di bawah naungan sebuah pohon, kemudian engkau pergi meninggalkannya.
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui perbuatan nabi nabi muhammad Al-Mas’udi, dan Padri Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini kalau tidak hasan berjasa resmi.
*******************
Firman Allah Swt.:
{وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}
Dan nanti Tuhanmu pasti menyerahkan karunia-Nya kepadamu, suntuk (hati) ia menjadi pada. (Adh-Dhuha: 5)
Yakni tulat di negeri akhirat Halikuljabbar akan memberinya hingga sira merasa puas adapun umatnya dan juga kemuliaan yang telah disediakan maka dari itu Allah bikin dirinya. Yang antara lain merupakan Telaga Kautsar yang kedua tepinya faktual kubah-kubah dari mutiara nan berongga, sedangkan tanahnya pati minyak kesturi, sebagaimana yang akan diterangkan kemudian.
Imam Abu Amr Al-Auza’i sudah lalu menarikhkan dari Ismail anak lelaki Abdullah ibnu Abul Pengungsi Al-Makhzumi, berasal Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, berusul ayahnya nan mengatakan bahwa ditampakkan kepada Rasulullah Saw. Segala yang kerjakan dibukakan bagi umatnya pasca- ia tiada perbendaharaan demi khazanah. Maka engkau merasa gemar dengan keadaan tersebut, lalu Allah Swt. mengedrop firman-Nya:
Dan besok Tuhanmu pasti menerimakan karunia-Nya kepadamu, lampau (lever) kamu menjadi puas. (Adh-Dhuha: 5)
Dan Allah Swt. memberikan kepada dia Saw. di intern kayangan sejuta gedung, kerumahtanggaan tiap bangunan terletak istri-ampean dan para pelayan yang layak baginya. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan makanya Anak lelaki Jarir dan Anak lelaki Abu Hatim menerobos jalur Abu Amr Al-Auza’i. Sanad ini sahih sampai kepada Ibnu Abbas, dan hal yang semisal dengan ini tiada lain kecuali berpredikat mauquf.
As-Saddi telah menanggali dari Anak lelaki Abbas, bahwa bakal memuaskan hati Rasul Muhammad Saw., Allah tidak akan mengegolkan seorang pun dari limbung ahli baitnya ke internal neraka. Demikianlah menurut segala yang telah diriwayatkan makanya Ibni Jarir dan Ibni Abu Hatim. Al-Hasan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan peristiwa tersebut ialah syafaat (diizinkan untuk memberi syafaat). Hal yang selaras telah dikatakan oleh Abu Ja’far Al-Baqir.
قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ: حَدَّثَنَا معاويةُ بْنُ هِشَامٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ صَالِحٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي زِيَادٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم: “أنا أهلُ بَيْتٍ اخْتَارَ اللَّهُ لَنَا الْآخِرَةَ عَلَى الدُّنْيَا {وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى}
Abu Bakar ibni Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah ibnu Hisyam, dari Ali anak lelaki Saleh, dari Yazid anak laki-laki Tepung Ziyad, dari Ibrahim, dari Alqamah, berasal Abdullah nan mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah berucap:
Sepantasnya kami adalah suatu pakar kuplet, Allah sudah lalu memilihkan akhirat di atas dunia bagi kami.
Dan tulat Tuhanmu pasti mengasihkan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) sira menjadi pada.
Kemudian Allah Swt. menyebutkan dalam firman berikutnya ketentuan lemak-nikmat yang telah Dia karuniakan kepada hamba dan Rasul-Nya Nabi Muhammad Saw.:
{أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى}
Bukanlah Dia mendapatimu laksana seorang yatim, lampau Sira melindungimu.
(Adh-Dhuha: 6)
Demikian itu karena ayah beliau wafat sejak ia masih makmur intern nafkah ibunya. Menurut pendapat nan lain, ayah kamu wafat detik beliau baru dilahirkan. Kemudian ibunya (yaitu Aminah binti Wahb) wafat pula ketika beliau berumur enam tahun. Setelah itu kamu berada privat perlindungan kakeknya (yaitu Abdul Muttalib) sebatas kakeknya wafat ketika dia masih berusia okta- periode.
Kemudian anda dipelihara makanya pamannya yang bernama Debu Talib, yang bersikap membenang melindunginya, menolongnya, meninggikan kedudukannya, dan mengagungkannya serta membentenginya dari alai-belai kaumnya sehabis Allah mengangkatnya menjadi seorang rasul dalam spirit catur puluh tahun.
Perlu diketahui bahwa Abuk Talib adalah pengikut agama kaumnya yang menyembah kultus-berhala, dan Nabi Saw. tidak tergerak, yang keadaan ini tiada lain beruntung kadar Allah dan pengaruh-Nya yang baik. Dan saat Abu Talib meninggal mayapada sebelum Nabi Saw. akan melakukan pengungsian intern waktu yang tidak lama, maka orang-orang nan tekor akalnya dan orang-sosok nan pandir dari kalangan kaum Quraisy tiba kesatria mengganggunya.
Maka Yang mahakuasa Swt. memilihkan hijrah baginya dari limbung mereka menuju negeri kaum Aus dan Khazraj, sebagaimana yang sudah digariskan oleh suratan takdir-Nya yang model lagi sempurna. Ketika ia Saw. setakat di negeri mereka, mereka memberinya tempat, menolongnya, melindunginya, dan membelanya dengan usia dan harta mereka; seharusnya Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka semuanya. Dan semuanya itu membujur pemeliharaan dan penjagaan serta perhatian berbunga Halikuljabbar kepada Nabi Saw.
Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ ضَالا فَهَدَى}
Dan Dia mendapatimu bagaikan seorang yang histeris, lalu Dia mengasihkan ramalan. (Adh-Dhuha: 7)
Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدى كَقَوْلِهِ: وَكَذلِكَ أَوْحَيْنا إِلَيْكَ رُوحاً مِنْ أَمْرِنا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتابُ وَلَا الْإِيمانُ وَلكِنْ جَعَلْناهُ نُوراً نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشاءُ مِنْ عِبادِنا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepada wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya sira tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan enggak sekali lagi memahami apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (Asy-Syura: 52), hingga akhir ayat.
Di antara ulama terserah yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah sesungguhnya Rasul Saw. jalinan sesat jalan di lereng-lereng pegunungan Mekah detik ia masih kecil, kemudian ia dapat pulang kembali ke rumahnya. Menurut pendapat nan tak, selayaknya ia rangkaian tersesat bersama pamannya di perdua jalan menuju ke kewedanan Syam. Momen itu Rasul Saw. mengendarai unta betina di malam yang gelap, lalu datanglah iblis yang menyesatkannya pecah jalur jalannya. Maka datanglah Malaikat Jibril nan langsung meniup demit hingga terpental jauh hingga ke negeri Habsyah. Kemudian Roh kudus melencangkan juga kendaraanNabi Saw. ke jalur nan dituju. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Bagawi.
Firman Allah Swt.:
{وَوَجَدَكَ عَائِلا فَأَغْنَى}
Dan Dia mendapatimu sebagai koteng yang kekurangan, lalu Dia menyerahkan kecukupan. (Adh-Dhuha: 8)
Ialah pada mulanya ia hidup dalam keadaan duafa sekali lagi banyak anak, lalu Halikuljabbar memberimu kecukupan berpunca selain-Nya. Dengan demikian, berarti Yang mahakuasa menimbunkan baginya antara kedudukan makhluk orang papa nan sabar dan turunan gemuk yang bersyukur, semoga salawat dan salam-Nya terlimpahkan kepadanya.
Qatadah mutakadim mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Beliau melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang terbang, lalu Dia memberikan wahyu. Dan Kamu mendapatimu bak seorang yang kekurangan, lalu Kamu memberikan kecukupan. (Adh-Dhuha: 6-8) Bahwa demikianlah kedudukan Nabi Saw. sebelum ia diangkat menjadi utusan oleh Allah Swt. Demikianlah menurut apa nan sudah lalu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Hatim.
Di kerumahtanggaan kitah Sahihain disebutkan melalui jongkong Abdur Razzaq, dari Ma’mar, dari Hammam ibnu Munabbih nan mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan kepada kami maka itu Abu Hurairah yang sudah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
«لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
Bukanlah individu kaya itu karena banyak memiliki harta benda, tetapi orang yang kaya itu adalah orang yang jiwanya kaya.
Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بما آتاه»
Sesungguhnya beruntunglah orang yang Islam dan diberi kandungan secukupnya serta Halikuljabbar telah menjadikannya menerima ala kadarnya menurut apa yang diberikan oleh-Nya (diberi sifat qana’ah).
Kemudian Allah Swt. privat ayat selanjutnya merenjeng lidah:
{فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ}
Adapun terhadap momongan yatim, maka janganlah kamu berperan otoriter. (Adh-Dhuha: 9)
Yakni sebagaimana engkau dahulu seorang yang yatim, lalu Allah melindungimu, maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim. Yakni janganlah kamu menghina, membentak, dan merendahkannya; belaka perlakukanlah dia dengan baik, dan kasihanilah ia. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa jadilah engkau terhadap anak yatim andai seorang ayah yang penyayang.
{وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ}
Dan terhadap sosok yang lamar-harap, maka janganlah engkau menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10)
Yakni seperti ia sangat dalam hal kebingungan, silam Allah memberimu petunjuk, maka janganlah kamu menghardik hamba allah yang meminta ilmu yang moralistis kepadamu dengan permohonan yang sesungguhnya.
Bani Ishaq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan terhadap basyar nan harap-minta, maka janganlah dia menghardiknya. (Adh-Dhuha: 10) Maksudnya, janganlah kamu beraksi sewenang-wenang, jangan sombong, jangan bersuara kotor, dan jangan lagi bersikap agresif terhadap khalayak-manusia yang lemah bermula hamba-turunan.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah bila menunda bani adam miskin lakukanlah dengan sikap pemberian sayang dan lemah halus.
{وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ}
Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah ia menyebut-nyebutnya
(dengan bersyukur). (Adh-Dhuha: 11)
Yakni sebagaimana engkau dahulu turunan yang kekeringan lagi banyak tanggungannya,’lalu Allah menjadikanmu berharta, maka syukurilah nikmat Allah nan diberikan kepadamu itu. Sebagaimana yang disebutkan privat doa nan di-ma’sur bermula Nabi Saw. seperti berikut:
«وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعْمَتِكَ مُثِنِينَ بِهَا عَلَيْكَ قابليها وأتمها علينا»
Dan jadikanlah kami orang-khalayak nan mensyukuri enak-Mu dan memanjatkan pujian kepada-Mu balasannya serta menerimanya, dan sempurnakanlah eco itu kepada kami.
Ibnu Jarir mengatakan, telah mengobrolkan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, sudah lalu menceritakan kepada kami Sa’id bani Iyas Al-Jariri, dari Abu Nadrah yang mengatakan bahwa lampau orang-khalayak mukminat memandang bahwa termaktub mensyukuri nikmat-mkmat Halikuljabbar ialah dengan menyebut-nyebutnya (mensyukurinya dengan lisan).
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مَنْصُورُ بْنُ أَبِي مُزَاحِمٍ، حَدَّثَنَا الْجَرَّاحُ بْنُ مَليح، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ: “مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ، لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ، وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللَّهَ. وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللَّهِ شَكْرٌ، وَتَرْكُهَا كُفْرٌ. والجماعة رحمة، والفرقة عذاب”
Abdullah ibnu Pater Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Abu Muzahim, telah mengobrolkan kepada kami Al-Jarrah ibni Falih, dari Abu Abdur Rahman, dari Asy-Sya’bi, dari An-Nifman ibnu Basyir yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda di atas mimbar:
Dagangan barangkali yang tidak mensyukuri mak-nyus yang sedikit, penting tidak mensyukuri nikmat yang banyak.
Dan barang bisa jadi yang tidak berterima kasih kepada (jasa) insan tak, berharga sira tidak bersyukur kepada Yang mahakuasa. Dan menyebut-nyebut eco Almalik yakni (ungkapan rasa) syukur, padahal meninggalkannya berarti mengingkarinya. Persatuan itu mengirimkan rahmat dan berpecah belah itu mengapalkan azab.
Sanad hadis ini daif.
Di intern kitab Sahihain disebutkan dari Anas, bahwa Suku bangsa Muhajirin menanya, “Wahai Rasulullah, orang-anak adam Ansar mutakadim memborong semua pahala.” Maka Nabi Saw. menjawab:
«لَا مَا دَعَوْتُمُ اللَّهَ لَهُمْ وَأَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِمْ»
Tidak, sejauh kalian meratibkan mereka kepada Allah dan memuji sikap baik mereka.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لَا يَشْكُرُ النَّاسَ”
Serbuk Daud mengatakan, sudah lalu menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, sudah mengobrolkan kepada kami Ar-Rabi’ ibnu Muslim, dari Muhammad ibnu Ziyad, dari Bubuk Hurairah, bermula Utusan tuhan Saw. yang telah bersuara:
Tidaklah bersyukur kepada Tuhan orang nan tidak berterima kasih kepada (kebaikan) orang lain.
Imam Turmuzi meriwayatkannya mulai sejak Ahmad ibnu Muhammad, mulai sejak Ibnul Mubarak, berpangkal Ar-Rabi’ ibnu Muslim, dan Pendeta Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini sahih.
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْجَرَّاحِ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ أُبْلِي بَلَاءً فَذَكَرَهُ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَإِنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ”
Abu Daud mengatakan bahwa sudah lalu menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Jarrah, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Al-A’masy, terbit Serbuk Sufyan, berbunga Berkelepai, pecah Nabi Saw. yang telah bersabda:
Dagangan boleh jadi yang membujur suatu cobaan (nan baik), suntuk ia menyebutnya, berharga dia telah mensyukurinya; dan barang siapa yang menyembunyikannya, berharga dia telah mengingkarinya.
Padri Abu Daud menarikhkan hadis ini secara munfarid (distingtif).
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا بِشْرٌ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ بْنُ غَزْية، حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ قَوْمِي، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ أعطَى عَطاء فَوَجَد فَليَجزْ بِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَليُثن بِهِ، فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ، وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ”
Serdak Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah membualkan kepada kami Bisyr, sudah lalu menceritakan kepada kami Imarah anak lelaki Gaziyyah, telah membualkan kepadaku seorang lelaki dari limbung kaumku, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa nan diberi suatu hidayah, lewat anda n kepunyaan sesuatu bagi membalasnya, maka balaslah anugerah itu.
Dan takdirnya ia tidak memiliki sesuatu untuk membalasnya, maka hendaklah ia memuji pemberinya. Maka dagangan siapa yang memuji pemberinya, berjasa telah mensyukurinya; dan barang bisa jadi yang menyembunyikannya (enggak menyebutnya), berarti dia sudah lalu mengingkarinya.
Abu Daud mengatakan bahwa dan Yahya ibnu Ayyub meriwayatkannya berpokok Imarah anak lelaki Gaziyyah, dari Syurahbil, dari Terkulai-kulai; mereka tak mau menegur nama Syurahbil karena mereka tidak suka kepadanya. Abuk Daud menanggali hadis ini secara munfarid (tunggal).
Mujahid mengatakan bahwa nikmat nan dimaksud dalam ayat ini yakni kenabian yang telah diberikan oleh Allah Swt. kepada Nabi-Nya. Yakni syukurilah kenabian nan telah diberikan Tuhanmu kepadamu. Menurut riwayat yang enggak, sedap yang dimaksud merupakan Al-Qur’an.
Besusu telah meriwayatkan dari sendiri lanang, semenjak Al-Hasan ibnu Ali sehubungan dengan makna firman-Nya:
Dan terhadap mak-nyus Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan berterima kasih). (Adh-Dhuha: 11) Ialah kebaikan apapun yang telah ia lakukan, maka ceritakanlah kejadian itu kepada saudara-saudaramu.
Muhammad ibnu Ishaq sudah lalu mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa segala yang telah diberikan oleh Sang pencipta kepadamu berupa gurih, kemuliaan dan kenabian, hendaklah engkau memanggil-nyebutnya dan ceritakanlah kepada orang lain dan serulah (mereka) kepadanya. Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan, bahwa adv amat Rasulullah Saw. menceritakan anugerah kenabian yang sudah lalu dituruti olehnya itu kepada khalayak-orang nan telah beliau percayai pecah kalangan keluarganya secara mengendap-endap. Terlampau difardukanlah ibadah salat kepadanya, maka beliau mengerjakannya.
Demikianlah pengunci tafsir piagam Adh-Dhuha: dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Yang mahakuasa Swt. atas segala anugerah-Nya.
Source: http://www.ibnukatsironline.com/2015/10/tafsir-surat-adh-dhuha-ayat-1-11.html