Bahasa Resmi 10 Negara Asean
Baru-mentah ini, Bendahara Menteri (PM) Malaysia Ismail Sabri mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara antara Indonesia dan Malaysia, dan juga ‘bahasa lazim kedua’ ASEAN (Perserikatan Nasion-Bangsa Asia Tenggara) sesudah bahasa Inggris.
Lega konferensi pers pertemuan bilateral Indonesia-Malaysia sediakala bulan ini, ia mengklaim bahwa usulan ini telah disetujui oleh Presiden Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo, yang direspons dengan anggukan kepala dan senyum oleh Jokowi.
Namun, ide ini tidak beruntung respons nan cukup baik dari mahajana Indonesia.
Menteri Pendidikan (Mendikbudristek) Nadim Makarim secara sorot-terangan menjorokkan usulan tersebut. Engkau berpendapat bahwa bahasa Indonesia mempunyai keuntungan historis, hukum, dan ilmu bahasa dan bertambah dikenal di dunia internasional. Sehingga, lebih turut akal bulus kalau bahasa Indonesia yang dijadikan umpama ‘bahasa legal kedua’ di ASEAN.
Sebelum memperdebatkan bahasa mana yang layak dijadikan bak ‘bahasa sahih kedua’ di ASEAN, terserah beberapa hal yang perlu diluruskan terlebih dulu adapun harga diri ‘bahasa seremonial’ di ASEAN dan isu kebahasaan yang kian mendesak.
Tidak ada ‘bahasa resmi pertama’ ASEAN
Selama beberapa dekade sehabis ASEAN dibentuk pada 1967, bahasa Inggris secara de facto menjadi lingua franca (bahasa calo) ASEAN.
Sreg masa tersebut, enggak ada dokumen resmi yang menyatakan bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa resmi ASEAN. Baru pada penandatanganan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada 2009, bahasa Inggris secara legal dinyatakan perumpamaan ‘bahasa kerja’ ASEAN.
Namun, topik mengenai kebahasaan lain banyak dibahas di dokumen biasa ASEAN. Di piagam ASEAN tersebut (yang berfungsi misal perjanjian nan menggerutu secara syariat antara dasa negara anggota), namun ada suatu pasal kebal kalimat pendek, yakni Pasal 34 yang menyatakan bahwa ‘Bahasa kerja ASEAN yakni bahasa Inggris’.
Di Pasal 34 Tembusan ASEAN tersebut, jelas status bahasa Inggris ialah ‘bahasa kerja’ (working language), bukan ‘bahasa resmi’ (official language). Jadi, bahasa Inggris tidak susunan menjadi ‘bahasa legal pertama’ ASEAN. Sehingga, proposal Perdana Menteri Malaysia untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai ‘bahasa resmi kedua’ ASEAN senyatanya enggak relevan.
Ada perbedaan antara ‘bahasa normal’ dan ‘bahasa kerja’.
Perserikatan Nasion-bangsa (PBB), misalnya, mengartikan bahasa resmi bak bahasa yang digunakan untuk semua dokumen absah PBB. Sementara itu bahasa kerja digunakan untuk komunikasi internal di antara staf.
Jika kita mengunjungi situs web resmi ASEAN, di sana terdapat pertinggal tafsiran Piagam ASEAN dalam semua bahasa-bahasa nasional negara anggota ASEAN. Bintang sartan, boleh dibilang, bahasa-bahasa tersebut adalah ‘bahasa resmi’ ASEAN.
Tapi, yang perlu pun menjadi manah yakni bahwa Pasal 34 tentang ‘bahasa kerja’ ini pun adv amat sederhana dan belum suka-suka strategi yang mereservasi kemajemukan bahasa di Asia Tenggara.
Supaya Pasal 2(l) Piagam ASEAN mengingatkan anggota-anggota ASEAN bakal ‘menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut oleh rakyat ASEAN’, guru besar bidang kebahasaan terbit Griffith University di Australia, Andy Kirkpatrick mengatakan lain cak semau kebijakan nan konkrit tentang bagaimana merealisasikan apresiasi terhadap variabilitas bahasa di ASEAN, termaktub bahasa kewarganegaraan dan bahasa tempatan dan daerah.
Selain membuka ruang munculnya perdebatan zero mengenai pemenang-jagoan sebagai ‘bahasa kedua’ ASEAN, keadaan ini malah bisa mengancam keberlangsungan lebih dari 1.000 bahasa di negara-negara anggota ASEAN.
Isu kebahasaan yang lebih mendesak
Bahasa Indonesia mempunyai keunggulan jika hendak dijadikan bahasa perantara di ASEAN. Bahasa Indonesia digunakan lebih dari 200 miliun orang. Ada juga dialek-dialek di kawasan Asia Tenggara nan berhubungan erat dengan bahasa Indonesia, sama dengan di Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam, dan Thailand selatan.
Senada dengan Menteri Nadiem, bahasa Indonesia pula dipelajari di banyak universitas terkemuka di seluruh mayapada.
Namun, di luar perdebatan mengenai bahasa mana yang patut menjadi ‘bahasa jamak kedua’ ASEAN, sepatutnya ada ada isu kebahasaan lain yang bertambah mendesak.
Seperti ungkapan Kirkpatrick, di ASEAN tidak sahaja terserah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia maupun bahasa Jawi saja. Terdapat lebih dari 1.000 bahasa murni (indigenous languages), dan kian dari 700 di antaranya terserah di Indonesia. Penetapan ‘bahasa resmi’ bisa berdampak puas promosi suatu bahasa, namun mengorbankan bahasa lain di ASEAN.
Contohnya, selama ini negara-negara ASEAN mempromosikan bahasa Inggris karena digunakan andai bahasa kerja di ASEAN. Akhirnya, sekolah-sekolah menerapkan pendidikan bilingual dalam bahasa Inggris dan bahasa kewarganegaraan, dan pelahap mengorbankan bahasa domestik.
Momen petinggi-petinggi negara ASEAN bukan secara sistematis menarafkan eksploitasi bahasa suci, pemakai bahasa lokal bisa kehilangan media cak bagi mengekspresikan identitas, pengetahuan, dan budaya mereka.
Motto ASEAN adalah “Suatu Visi, Suatu Identitas, Satu Peguyuban”. Sahaja, minimnya kebijakan konkrit yang melindungi keanekaragaman bahasa dan budaya di ASEAN, dan ditambah dengan perdebatan dan usulan buat menjadikan bahasa tertentu sebagai ‘bahasa legal’ menimbulkan pertanyaan:
Identitas seperti segala nan diinginkan ASEAN? Suatu komunitas yang merangkul keanekaragaman bahasa dan budaya yang ki berjebah, atau peguyuban yang justru perlahan bergerak mengarah homogenitas?
Garis haluan bahasa Embok Eropa bisa menjadi les
Menurut saya, ASEAN dapat belajar dari kebijakan bahasa di Mbakyu Eropa (UE).
Ayunda Eropa menjadikan bahasa nasional negara-negara anggotanya bak bahasa lazim lembaga. Tak ada bahasa seremonial ‘permulaan’, ‘kedua’, maupun seterusnya karena hal ini bisa menimbulkan ketidaksetaraan harga diri.
Menurut Piagam Hak Fundamental UE, warga negara UE n kepunyaan hak kerjakan menunggangi salah satu dari 24 bahasa konvensional saat menghubungi susuk UE, dan lembaga UE mesti menjawab intern bahasa nan sama. Ayunda Eropa mengakuri bahasa umpama bagian mendasar dari identitas Eropa dan ekspresi budaya masyarakat.
UE mempunyai sekitar 60 bahasa asli dan secara proaktif menyepakati diversitas tersebut sebagai fragmen teratur semenjak identitasnya. ASEAN, dengan lebih dari 1000 bahasa, akan berkat kepentingan yang signifikan dari politik bahasa nan konkrit bagi mempromosikan dan melindungi bahasa-bahasa tersebut.
Perdebatan mengenai bahasa mana yang memadai dijadikan ‘bahasa absah kedua’ ASEAN sebaiknya tidak takhlik kita lupa bahwa ASEAN, bahkan negara kita sendiri Indonesia, mempunyai keanekaragaman bahasa dan budaya yang kaya.
Keanekaragaman inilah yang mewujudkan dan menjadikan ASEAN seperti sekarang. Melalaikan keberbagaian bahasa namun demi kepraktisan dan ego petinggi-petinggi suatu negara semata-mata akan melemahkan identitas kita.
Memperkuat identitas keanekaragaman ini, di jihat lain, akan mendukung kita menonjol di dunia global, ketimbang tetapi menjadi penganut dan konsumen produk globalisasi dan kebudayaan asing saja.
Source: https://theconversation.com/debat-kusir-bahasa-resmi-kedua-asean-tidak-relevan-dan-mengancam-ribuan-bahasa-daerah-lain-di-asia-tenggara-181064