Hubungan Manusia Dengan Allah Disebut
Menjelang akhir Bulan pahala, semakin kita rasakan, bahwa setiap ibadah nan diperintahkan Almalik SWT adalah cak bagi meningkatkan hubungan vertikal dan sekaligus mengufuk secara seimbang. Hubungan vertikal yakni berupa asosiasi kita dengan Tuhan (hablun min Allah). Sedang hubungan melintang adalah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah SWT, khususnya khalayak (hablum min annas).
Pertalian ini yaitu kerangka komunikasi yang bersifat eksternal antara makhluk secara pribadi dengan pihak lain di asing dirinya. Sekadar, cak semau satu bentuk komunikasi yang burung laut luput dari perhatian kita, yaitu aliansi dengan diri seorang (hablun min annafs).
Merajut hubungan dengan Allah SWT, dengan sesama dan dengan diri sendiri terasa semakin sering diabaikan intern konteks kronologi ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Akibatnya, merajut rangkaian dengan Tuhan SWT, misalnya, kita majuh terbelenggu pada hal-hal nan berwatak rutinitas tinimbang gambar ketundukan kepada-Nya. Beribadah acap kali saja laksana ceremonial enggak menghadirkan kekhusyukan, dan beribadah menjadi beban bukan menjadi kebutuhan, dan beribadah akhirnya tekor berimplikasi terhadap semangat pribadi dan sosial.
Selam bukanlah agama yang mewajibkan bagi hanya beribadah saja kepada Allah SWT tanpa memikirkan kehidupan dunia, begitupun sebaliknya bukan lagi hanya mengejar semangat dunia saja dengan melalaikan
ukhrawi. Tetapi setiap ibadah itu harus setimbang antara dunia dan akhirat. Salat diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam yang meratibkan seluruh bani adam yang cak semau di mayapada ini.
Artinya, internal wacana salat pun ada hubungan antara Allah SWT dan sesama. Begitu pula dengan ibadah puasa di rembulan Ramadan, puasa ialah ibadah
sirriyyah
yang penilaiannya serta merta maka dari itu Sang pencipta SWT, selepas satu rembulan berpantang nan merupakan pertambahan hubungan dengan Allah SWT, maka di akhir Ramadan sebelum salat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang akan memperketat hubungan kita dengan sesama manusia.
Kerumahtanggaan Selam, salah suatu media merajut kawin dengan Allah adalah salat. Jika kita mengerjakan refleksi, akan bisa memahami bahwa ketika memulai salat kita awali dengan bertakbir
Allahu Akbar
dan menyatakan dengan mumbung khusyuk sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Yang mahakuasa
Rabbul ‘Alamin.
Dan, ketika mengakhiri salat, kita secara sadar menyatakan komitmen kedamaian dengan mengucap salam, dengan berganti ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang bahwa salat akan berimplikasi terciptanya kedamaian. Sungguh dahsyatnya jika kita melaksanakan salat berjamaah, tentu sekat-tongkat panjang primordial, sekat-sortang partai strategi, galah-gantar ormas keagamaan, dan beraneka rupa hambatan psikologis bukan akan luntur disinari dengan statemen kita: “sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semua kupersembahkan saja cak bagi Sang pencipta
Rabbul ‘Alamin”.
Dalam perkataan nabi banyak dikemukakan, bahwa Allah SWT senantiasa menunggu hamba-Nya yang mau berkomunikasi dengan-Nya. Bab amnesti-Nya selalu terbuka, mengingat Allah SWT yakni Maha Mendengar, Maha Penerima Taubat dan pemberi kesentosaan. Detik hati seorang orang islam telah dipenuhi rasa belalah dan rindu sreg-Nya, maka panggilan salat yaitu panggilan yang adv amat indah dan menggairahkan, laiknya anak remaja nan terhibur selalu kepingin berjumpa kekasihnya, atau koteng ibu yang mendambakan untuk bersua anak-anaknya yang ki berjebah jauh darinya. Privat konteks inilah menjadi sangat mudah dipahami cak kenapa Rasulullah SAW menganjurkan agar seorang muslim sebaiknya salat di awal waktu, jangan menolak salat, bergegaslah memenuhi panggilan Allah SWT.
Sungguh sejuk dan tulen ketika menjalani salat. Semua kegiatan ditinggalkan karena bukan ada yang lebih menghela ketimbang menghadap Almalik SWT. Jikalau kita salat dan merasakan perasaan rindu dan cinta puas Allah, maka kita akan betah berlama-lama, merasakan diseminasi energi cinta dan damai mulai sejak-Nya. Kalau ini menjadi kebiasaan dan kualitas salat kita, maka detik kita mengakhiri salat dengan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri, kita akan melanjutkannya dengan menebar salam perdamaian puas siapa-siapa yang dekat dengan kita, baik di lingkungan keluarga, lawan kantor maupun pergaulan sehari-waktu.
Singkat pengenalan, mereka yang istiqamah salat adalah seharusnya juga mereka nan senang menebar rasa damai untuk lingkungannya.
Secara empirik, lain tekor komunikasi dengan sesama yang kesannya sahaja menorehkan noda, luka, dan petaka. Takdirnya berkomunikasi dengan sesuatu di luar dirinya saja sulit, maka akan lebih sulit lagi berkomunikasi dengan diri sendiri, ibarat mengaram jitok koteng, “begitu dekat, tetapi seperti itu jauh untuk dilihat dan ditelisik”. Akibatnya, negeri kerjakan melakukan objektifikasi kepada objek komunikasi, yaitu diri seorang, menjadi sangat sempit. Bukan enggak kali, ketika terjadi jilatan
n domestik diri sendiri, cak semau gaya bagi mengebankan kesalahan kepada orang tidak. Maka, ada pepatah “bila ingin luang tentang pribadi seseorang nan sesungguhnya, tanyakanlah kepada kawannya”. Ini menunjukkan betapa sulitnya seseorang bakal mendeskripsikan dirinya sendiri secara objektif.
Mengenal diri seorang sangat penting untuk membangun hubungan dengan manusia dan Allah SWT. Salah satu bentuk mengenali diri sendiri adalah mengenal apa nan menjadi kekuatan dan kekurangannya. Ibarat rumah, sebelum menata isinya dan meletakkan warna-warni, keadaan pertama yang harus dilakukan merupakan mengenai kelebihan dan kehabisan serta keterbatasan pengelolaan ulas alias desain interiornya. Jangan setakat membeli kursi ukuran jumbo dan berbentuk L, padahal ruang tamu nan tersedia ukurannya kecil dan bundar. Jika senggat dan kekeringan rumahnya terletak puas ruangan pengunjung yang sempit, lain boleh dipaksa diisi dengan barang berukuran jumbo. Bisa jadi dagangan itu dapat masuk, sahaja tidak serasi, tidak nyaman dilihat dan ditempati. Padahal ruang sempit lagi kecil juga akan tegar nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi nan ada.
Dengan mengenali dan menyepakati keterbatasan ira nan kita n kepunyaan, bukan teradat ada manah, ucapan dan sikap yang menuduh si penyusun kursi jumbolah yang enggak tahu diri, keseleo atau goblok. Momen fitnahan dilontarkan, suatu jari kita menunjuk ke ketololan orang lain, tanpa disadari bahwa keempat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri.
Karenanya, sebagai pamungkas, kita mesti mengamalkan refleksi meningkatkan kualitas asosiasi kita dengan Allah SWT, sesama dan diri sendiri. Kita bisa mengambil
‘ibrah
tentang salat: ketika memulai salat kita bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh betul-betul, sepatutnya ada salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan bikin Allah
Rabbul ‘Alamin. Dan, momen kita mengakhiri salat, kita menyatakan komitmen kedamaian dengan mengucapkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kidal. Ini perlambang bahwa salat kita berimplikasi terhadap terciptanya kesejahteraan bagi sesama, barang apa pula partainya, barang apa pun ormasnya, dan apa pun hambatan psikologisnya. Bukankah begitu?. Wallahu a’lam. (*)
(*) Pengasuh PP. Shofa Marwa, Ketum MUI Jember dan Mahaguru Pendidikan Selam IAIN Jember.
Menjelang akhir Ramadan, semakin kita rasakan, bahwa setiap ibadah yang diperintahkan Allah SWT yaitu untuk meningkatkan rangkaian vertikal dan simultan horizontal secara selaras. Rangkaian vertikal yaitu berupa hubungan kita dengan Sang pencipta (hablun min Sang pencipta). Sedang susunan horizontal adalah pertautan kita dengan sesama manusia Allah SWT, khususnya manusia (hablum min annas).
Perpautan ini merupakan bentuk komunikasi yang bertabiat eksternal antara manusia secara pribadi dengan pihak enggak di luar dirinya. Saja, ada suatu bentuk komunikasi yang demap luput dari perasaan kita, yaitu nikah dengan diri seorang (hablun min annafs).
Menangkap koalisi dengan Tuhan SWT, dengan sesama dan dengan diri sendiri terasa semakin sering diabaikan dalam konteks perkembangan ilmu proklamasi dan teknologi mutakhir. Balasannya, merajut hubungan dengan Allah SWT, misalnya, kita sering terpasung pada situasi-peristiwa yang bersifat rutinitas tinimbang bentuk ketundukan kepada-Nya. Beribadah bosor makan kali semata-mata sebagai ceremonial tidak menghadirkan kekhusyukan, dan beribadah menjadi muatan bukan menjadi kebutuhan, dan beribadah karenanya kurang berimplikasi terhadap roh pribadi dan sosial.
Islam bukanlah agama nan memerintahkan untuk sahaja beribadah saja kepada Allah SWT sonder memikirkan kehidupan dunia, begitupun sebaliknya enggak juga semata-mata berburu nyawa dunia belaka dengan melalaikan
ukhrawi. Namun setiap ibadah itu harus sebanding antara dunia dan darul baka. Salat diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam yang meratibkan seluruh makhluk yang ada di bumi ini.
Artinya, n domestik bacaan salat juga ada hubungan antara Allah SWT dan sesama. Begitu pun dengan ibadah puasa di wulan Bulan ampunan, puasa ialah ibadah
sirriyyah
yang penilaiannya sinkron oleh Almalik SWT, selepas satu wulan berpuasa yang merupakan peningkatan hubungan dengan Almalik SWT, maka di akhir Ramadan sebelum salat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang akan memperkuat hubungan kita dengan sesama manusia.
Dalam Islam, keseleo satu wahana merajut pertautan dengan Tuhan adalah salat. Jika kita berbuat refleksi, akan dapat memahami bahwa momen memulai salat kita awali dengan bertakbir
Allahu Akbar
dan menyatakan dengan mumbung khusyuk sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Sang pencipta
Rabbul ‘Alamin.
Dan, detik mengakhiri salat, kita secara sadar menyatakan komitmen kesejahteraan dengan mengucap salam, dengan berpalis ke kanan dan ke kidal. Ini pertanda bahwa salat akan berimplikasi terciptanya kesentosaan. Alangkah dahsyatnya kalau kita melaksanakan salat beramai-ramai, tentu sortang-sekat primordial, sekat-sekat puak politik, penjolok-tongkat panjang ormas keagamaan, dan bermacam-macam hambatan serebral lain akan kepam disinari dengan statemen kita: “sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semua kupersembahkan hanya bakal Halikuljabbar
Rabbul ‘Alamin”.
Internal hadis banyak dikemukakan, bahwa Allah SWT senantiasa menunggu hamba-Nya yang ingin berkomunikasi dengan-Nya. Pintu maaf-Nya selalu ternganga, memahfuzkan Tuhan SWT yaitu Maha Mendengar, Maha Penerima Taubat dan pemberi ketenteraman. Detik hati seorang mukmin sudah dipenuhi rasa cinta dan rindu pada-Nya, maka panggilan salat yakni panggilan yang dulu indah dan menggairahkan, laiknya anak taruna yang terhibur sayang kepingin berjumpa kekasihnya, atau seorang ibu yang merindukan lakukan bersua anak asuh-anaknya yang berada jauh darinya. Dalam konteks inilah menjadi terlampau mudah dipahami mengapa Rasulullah SAW mencadangkan hendaknya sendiri muslim seharusnya salat di awal musim, jangan menunda salat, bergegaslah memenuhi panggilan Sang pencipta SWT.
Betapa sejuk dan tahir ketika menjalani salat. Semua kegiatan ditinggalkan karena lain ada nan makin menyedot ketimbang berorientasi Halikuljabbar SWT. Jika kita salat dan merasakan manah ribang dan besar perut pada Sang pencipta, maka kita akan betah berlama-lama, merasakan aliran energi comar dan damai berasal-Nya. Kalau ini menjadi kebiasaan dan kualitas salat kita, maka ketika kita mengakhiri salat dengan salam dan bertukar ke kanan dan ke kiri, kita akan melanjutkannya dengan menebar salam perdamaian pada kali lagi yang dekat dengan kita, baik di lingkungan batih, teman kantor maupun pertalian sehari-tahun.
Singkat prolog, mereka nan istiqamah salat adalah seharusnya juga mereka yang senang menebar rasa damai bagi lingkungannya.
Secara empirik, tidak tekor komunikasi dengan sesama yang akhirnya cuma menorehkan noda, luka, dan petaka. Jika berkomunikasi dengan sesuatu di luar dirinya saja sulit, maka akan lebih sulit lagi berkomunikasi dengan diri seorang, sebagai melihat tengkuk sendiri, “sejenis itu karib, tetapi serupa itu jauh cak bagi dilihat dan ditelisik”. Kesannya, area untuk melakukan objektifikasi kepada objek komunikasi, merupakan diri sendiri, menjadi sangat sempit. Tidak tidak mungkin, saat terjadi jilatan
internal diri sendiri, ada kecenderungan lakukan membanting kesalahan kepada makhluk lain. Maka, ada peribahasa “bila ingin senggang mengenai pribadi seseorang yang sesungguhnya, tanyakanlah kepada kawannya”. Ini menunjukkan betapa sulitnya seseorang buat mendeskripsikan dirinya sendiri secara objektif.
Mengenal diri seorang sangat penting untuk membangun interelasi dengan individu dan Almalik SWT. Pelecok satu bentuk mengenali diri koteng adalah mengenal apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Ibarat rumah, sebelum mengatur isinya dan memangkalkan pernak-pernik, hal pertama yang harus dilakukan yakni mengenai kelebihan dan kekurangan serta keterbatasan manajemen ruang atau desain interiornya. Jangan hingga membeli kursi format jumbo dan berbentuk L, sedangkan ruang pengunjung yang tersaji ukurannya kecil dan bundar. Jika batas dan kehilangan rumahnya terdapat pada ruangan tamu nan sempit, tak boleh dipaksa diisi dengan komoditas berukuran jumbo. Kali dagangan itu dapat masuk, tetapi enggak serasi, tidak nyaman dilihat dan ditempati. Sedangkan ruang sempit lagi kerdil juga akan tunak nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi yang suka-suka.
Dengan mengidentifikasi dan mengamini keterbatasan ruang yang kita punya, lain wajib ada perasaan, tuturan dan sikap nan menuduh sang pembuat kedudukan jumbolah yang tidak adv pernah diri, pelecok maupun bodoh. Detik tuduhan dilontarkan, suatu jari kita menunjuk ke kebodohan sosok lain, tanpa disadari bahwa keempat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri.
Jadinya, sebagai pamungkas, kita mesti berbuat refleksi meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah SWT, sesama dan diri sendiri. Kita bisa mencekit
‘ibrah
tentang salat: ketika memulai salat kita bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk, senyatanya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan bakal Tuhan
Rabbul ‘Alamin. Dan, ketika kita mengakhiri salat, kita menyatakan komitmen kesejahteraan dengan menitahkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang bahwa salat kita berimplikasi terhadap terciptanya kedamaian cak bagi sesama, apa pun partainya, apa pun ormasnya, dan apa juga hambatan psikologisnya. Bukankah begitu?. Wallahu a’lam. (*)
(*) Pengampu PP. Shofa Marwa, Ketum MUI Jember dan Profesor Pendidikan Islam IAIN Jember.
Menjelang akhir Bulan puasa, semakin kita rasakan, bahwa setiap ibadah yang diperintahkan Tuhan SWT yakni bakal meningkatkan relasi vertikal dan sewaktu mendatar secara separas. Hubungan vertikal yakni aktual susunan kita dengan Allah (hablun min Allah). Medium hubungan horizontal adalah gabungan kita dengan sesama makhluk Halikuljabbar SWT, khususnya bani adam (hablum min annas).
Hubungan ini ialah rang komunikasi yang bersifat eksternal antara sosok secara pribadi dengan pihak lain di luar dirinya. Namun, terserah satu bentuk komunikasi yang besar perut luput dari perhatian kita, yaitu hubungan dengan diri sendiri (hablun min annafs).
Merajut aliansi dengan Allah SWT, dengan sesama dan dengan diri seorang terasa semakin pelahap diabaikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. Akibatnya, merajut aliansi dengan Allah SWT, misalnya, kita sering tersekap pada keadaan-situasi nan berkarakter rutinitas daripada bentuk ketundukan kepada-Nya. Beribadah cerbak kali cuma ibarat ceremonial lain menghadirkan kekhusyukan, dan beribadah menjadi muatan bukan menjadi kebutuhan, dan beribadah akibatnya kurang berimplikasi terhadap umur pribadi dan sosial.
Islam bukanlah agama yang mewajibkan bakal hanya beribadah saja kepada Almalik SWT tanpa merefleksikan nyawa marcapada, begitupun sebaliknya lain juga hanya mengejar semangat dunia sekadar dengan melalaikan
ukhrawi. Sahaja setiap ibadah itu harus seimbang antara dunia dan akhirat. Salat diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam nan mendoakan seluruh makhluk nan cak semau di bumi ini.
Artinya, privat bacaan salat sekali lagi ada hubungan antara Allah SWT dan sesama. Begitu lagi dengan ibadah puasa di bulan Bulan berkat, puasa yaitu ibadah
sirriyyah
yang penilaiannya sekaligus maka dari itu Allah SWT, setelah satu wulan menanggang perut nan adalah peningkatan hubungan dengan Allah SWT, maka di akhir Bulan puasa sebelum salat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang akan memperkuat koneksi kita dengan sesama makhluk.
Dalam Islam, pelecok satu wahana menganyam hubungan dengan Allah adalah salat. Seandainya kita mengamalkan refleksi, akan bisa memahami bahwa ketika memulai salat kita awali dengan bertakbir
Allahu Akbar
dan menyatakan dengan munjung khusyuk selayaknya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Tuhan
Rabbul ‘Alamin.
Dan, ketika mengakhiri salat, kita secara sadar menyatakan komitmen kesentosaan dengan mengucap salam, dengan menengok ke kanan dan ke kiri. Ini isyarat bahwa salat akan berimplikasi terciptanya kedamaian. Alangkah dahsyatnya jika kita melaksanakan salat beramai-ramai, karuan sekat-sekat primordial, sekat-sekat partai politik, sekat-gantar ormas keyakinan, dan berbagai hambatan serebral bukan akan awawarna disinari dengan statemen kita: “sememangnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semua kupersembahkan hanya untuk Almalik
Rabbul ‘Alamin”.
N domestik hadis banyak dikemukakan, bahwa Halikuljabbar SWT senantiasa menunggu hamba-Nya yang mau berkomunikasi dengan-Nya. Pintu maaf-Nya bosor makan ternganga, mengingat Allah SWT adalah Maha Mendengar, Maha Penerima Taubat dan pemberi kedamaian. Momen hati seorang mukmin telah dipenuhi rasa comar dan ribang pada-Nya, maka panggilan salat merupakan panggilan nan sangat mulia dan menggairahkan, laiknya anak muda yang jatuh cinta sayang ingin berjumpa kekasihnya, alias koteng ibu nan merindukan buat bersua anak-anaknya yang mewah jauh darinya. Dalam konteks inilah menjadi sangat mudah dipahami mengapa Rasulullah SAW menganjurkan agar seorang mukmin kiranya salat di awal musim, jangan memerosokkan salat, bergegaslah menunaikan janji panggilan Allah SWT.
Alangkah sejuk dan ceria momen menjalani salat. Semua kegiatan ditinggalkan karena tidak suka-suka yang makin menggelandang ketimbang mengarah Allah SWT. Jika kita salat dan merasakan perasaan kangen dan cinta plong Sang pencipta, maka kita akan betah berlama-lama, merasakan aliran energi cinta dan berbaik dari-Nya. Kalau ini menjadi sifat dan kualitas salat kita, maka ketika kita mengakhiri salat dengan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri, kita akan melanjutkannya dengan menebar salam perdamaian pada kali pun yang dekat dengan kita, baik di mileu batih, saingan kantor maupun pergaulan sehari-hari.
Singkat alas kata, mereka nan istiqamah salat adalah seharusnya juga mereka yang gemar menebar rasa berbaik bagi lingkungannya.
Secara empirik, tidak adv minim komunikasi dengan sesama yang alhasil doang menorehkan noda, luka, dan petaka. Kalau berkomunikasi dengan sesuatu di asing dirinya saja sulit, maka akan kian sulit lagi berkomunikasi dengan diri koteng, ibarat mengaram tengkuk sendiri, “begitu intim, tetapi semacam itu jauh untuk dilihat dan ditelisik”. Akibatnya, area cak bagi melakukan objektifikasi kepada objek komunikasi, ialah diri sendiri, menjadi adv amat sempit. Bukan tak mana tahu, detik terjadi gejolak
dalam diri sendiri, ada tendensi lakukan mengandaskan kesalahan kepada orang lain. Maka, ada petitih “bila cak hendak tahu tentang pribadi seseorang yang sepantasnya, tanyakanlah kepada kawannya”. Ini menunjukkan betapa sulitnya seseorang bakal mendeskripsikan dirinya koteng secara objektif.
Mengenal diri seorang tinggal utama untuk membangun hubungan dengan orang dan Allah SWT. Salah satu bentuk mengenali diri koteng adalah mengenal apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Bak apartemen, sebelum menata isinya dan memangkalkan pernak-pernik, hal pertama yang harus dilakukan adalah tentang kelebihan dan kekeringan serta keterbatasan tata pangsa maupun desain interiornya. Jangan hingga membeli kursi format jumbo dan berbentuk L, padahal ulas tamu nan tersedia ukurannya kecil dan bundar. Jika perenggan dan kehilangan rumahnya terdapat pada ruangan tamu yang sempit, tidak boleh dipaksa diisi dengan komoditas berukuran jumbo. Kali barang itu boleh masuk, belaka lain serasi, tidak nyaman dilihat dan ditempati. Padahal ruang sempit sekali lagi kecil juga akan tetap nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi nan ada.
Dengan mengenali dan mengakuri keterbatasan ruang nan kita mempunyai, tidak perlu ada pikiran, perkataan dan sikap yang menuduh si pembuat kursi jumbolah yang tidak senggang diri, salah atau bodoh. Saat kritikan dilontarkan, satu jemari kita menunjuk ke kebodohan sosok lain, tanpa disadari bahwa keempat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri.
Akhirnya, ibarat pamungkas, kita perlu mengamalkan refleksi meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah SWT, sesama dan diri koteng. Kita boleh menjumut
‘ibrah
tentang salat: ketika memulai salat kita bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh benar-benar, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku, kupersembahkan bakal Allah
Rabbul ‘Alamin. Dan, ketika kita mengakhiri salat, kita menyatakan komitmen ketenteraman dengan mengucapkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini pertanda bahwa salat kita berimplikasi terhadap terciptanya kesentosaan bagi sesama, barang apa sekali lagi partainya, apa pun ormasnya, dan barang apa pula rintangan psikologisnya. Bukankah begitu?. Wallahu a’lam. (*)
(*) Wali PP. Shofa Marwa, Ketum MUI Jember dan Guru besar Pendidikan Islam IAIN Jember.
Source: https://radarjember.jawapos.com/perspektif-halim/30/05/2019/hablun-minallah-hablun-minannas/