Kalimat Aksara Jawa Dan Artinya

Aksara Jawa
ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ
Aksara Jawa.svg
Macam aksara

abugida

Bahasa Jawa, Sunda (historis), Madura, Tepas, Melayu, Kawi, Sanskerta

Waktu

abad ke-15 hingga waktu ini
Arah penulisan Kiri ke kanan
Leter terkait

Silsilah

Menurut postulat hubungan antara abjad Aramea dengan Brahmi, maka silsilahnya andai berikut:

  • Aksara Proto-Sinai

    • Leter Fenisia

      • Abjad Aramea

        • Aksara Brahmi

Semenjak leter Brahmi diturunkanlah:[a]

  • Lambang bunyi Pallawa
    • Aksara Kawi
      • Aksara Jawa

Abc kerabat

Bali
Batak
Baybayin
Bugis
Incung
Lampung
Makassar
Rejang
Sunda
ISO 15924
ISO 15924 Java,
361
Sunting ini di Wikidata

, ​Jawa
Pengkodean Unicode

Nama Unicode

Javanese

Rentang Unicode

U+A980U+A9DF

  1. ^

    Asal-usul Semitik berpunca aksara-aksara Brahmik tidak disetujui secara universal.
 Artikel ini mengandung
transkripsi fonetik
n domestik Alfabet Fonetik Internasional
(IPA). Bikin bantuan kerumahtanggaan membaca tanda baca IPA, lihat Bantuan:IPA. Cak bagi penjelasan perbedaan
[ ],
/ /
dan
, Tatap IPA § Parentesis dan delimitasi transkripsi.

Aksara Jawa
atau
Aksara Carakan
[1]
adalah riuk satu lambang bunyi tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Jawa. Leter ini terutama digunakan untuk menulis bahasa Jawa, tetapi dalam perkembangannya pula digunakan untuk batik sejumlah bahasa daerah lainnya sebagai halnya bahasa Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu, serta bahasa historis seperti Sanskerta dan Kawi. Aksara Jawa yaitu individu dari aksara Brahmi India melalui perantara huruf Kawi dan berkerabat dekat dengan leter Bali. Abc Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun coretan sehari-periode publik Jawa sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,[2]
[3]
dan Cirebon serta Indramayu[4]
laksana bagian dari muatan domestik, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam umur sehari-hari.

Aksara Jawa adalah sistem tulisan abugida yang terdiri berbunga sekitar 20 hingga 33 leter dasar, terampai mulai sejak penggunaan bahasa yang bersangkutan. Begitu juga abjad Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ nan dapat diubah dengan anugerah diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa yakni kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (scriptio continua)[5]
namun awam diselingi dengan sekelompok bunyi bahasa nan bertabiat dekoratif.

Sejarah

Lambang bunyi Jawa merupakan salah satu aksara anak adam Brahmi di Indonesia nan sejarahnya boleh ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-pusaka yang memungkinkan eksplorasi epigrafis secara mendetail. Akar paling tua mulai sejak aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi leter Pallawa di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Leter Pallawa kemudian berkembang menjadi abjad Kawi yang digunakan sepanjang masa Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 sebatas 15. Di berjenis-jenis daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi leter-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah huruf Jawa.[6]
Aksara Jawa modern begitu juga yang waktu ini dikenal berangsur-angsur muncul semenjak abc Kawi pada peralihan abad ke-14 sampai 15 ketika ranah Jawa mulai menyepakati pengaruh Islam yang signifikan.[7]
[8]

Selama terbatas lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan sebagai coretan sehari-waktu maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada cagak waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang tukar terpencil dan langka berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga huruf Jawa berkembang dengan berbagai macam variasi dan mode penulisan yang digunakan silih-porselen sepanjang sejarah penggunaannya.[9]
[a]
Pagar adat tulis aksara Jawa terutama terpupuk di mileu kastil pada pusat-pusat budaya Jawa seperti Yogyakarta dan Surakarta, namun naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan mahajana dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah Jawa Barat, semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh suku bangsa ningrat Sunda (ménak) akibat kontrol politik dinasti Mataram.[10]
Namun begitu, umumnya masyarakat Sunda pada masa masa yang sama makin umum menggunakan abjad Pegon yang diadaptasi berasal fonem Arab.[11]
Sebagian segara tulisan sastra Jawa tradisional dirancang buat dilantunkan privat bentuk sajak, sehingga teks sastra tidak saja dinilai dari isi dan susunannya, semata-mata juga berusul pelantunan dan pembawaan sang pembaca.[12]
Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena wahana tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, rata-rata tulisan tangan jasmani yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya berulangulang dapat ditelusuri sebatas purwarupa yang bilang abad makin tua.[8]

Media

Serat Yusuf
dalam naskah melempar, koleksi Tropenmuseum

Sepanjang sejarahnya, huruf Jawa ditulis dengan beberapa kendaraan nan berganti-ganti seiring periode. Leter Kawi yang menjadi karuhun aksara Jawa umum ditemukan dalam rajah epigraf bujukan dan lempeng logam. Garitan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media melempar, merupakan daun palem tal (Borassus flabellifer, disebut juga palem siwalan) yang telah dikerjakan sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan bogok selingkung 2,8 setakat 4 cm dan panjang yang bermacam ragam antara 20 sampai 80 cm. Tiap lawai melempar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekeliling empat derek, yang digurat n domestik posisi horizontal dengan pisau katai kemudian dihitamkan dengan arang para untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan nan panjang di seantero Asia Daksina dan Asia Tenggara.[13]

Pada abad ke-13, plano mulai diperkenalkan di Nusantara, situasi ini berkaitan dengan pendakyahan agama Islam yang tradisi tulisnya didukung maka itu pendayagunaan kertas dan format buku kodeks. Ketika Jawa start mengakuri kekuasaan Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika leter Kawi menginjak bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi kian baku digunakan di Jawa dan pemakaian lontar hanya bertahan di bilang tempat.[14]
Terwalak dua tipe plano yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: plano produksi lokal yang disebut daluang, dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa:
dluwang) adalah jeluang yang terbuat berpunca cak bertubrukan alat peraba pohon saéh (Broussonetia papyrifera, disebut juga tanaman glugu). Secara tampak, kertas cukup mudah dibedakan dengan kertas resmi berpangkal warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama berpokok neko-neko rang degradasi (terutama insekta), sementara daluang yang tak bagus memiliki permukaan nan bukan rata dan mudah rusak. Plano awam digunakan n domestik naskah yang ditulis di kastil dan pesantren Jawa antara abad ke-16 dan 17.[14]
[15]

Sebagian raksasa kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari Eropa. Sreg awalnya, plano Eropa sekadar digunakan oleh sebagian kecil panitera Jawa karena harganya yang mahal–plano yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam total terbatas.[b]
Dalam administrasi kolonial sehari-hari, pengusahaan plano Eropa perlu disuplementasikan dengan daluang plano Jawa serta jeluang impor Tiongkok sedikitnya hingga abad ke-19.[15]
Seiring meningkatnya jumlah daluang impor dan pengapalan yang lebih berkala, tukang catat di keraton dan permukiman urban bertambah memintal kertas Eropa sebagai media catat terdahulu sementara jeluang kian diasosiasikan dengan skrip yang dibuat di pesantren dan desa.[14]
Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak lambang bunyi Jawa juga mulai dirintis oleh beberapa tokoh Eropa dan berangkat digunakan secara luas pada musim 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan internal beraneka macam aspek umur awam Jawa pra-otonomi, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, setakat pamflet, iklan, dan persen plano.[16]

Penggunaan

Pemakaian Fonem Jawa

Detail salah satu jerambah dalam
Serat Selarasa
yang disalin pada tahun 1804 di Surabaya. Dua figur di paling kecil kidal terlihat sedang merinaikan bacaan beraksara Jawa.

Sejauh kurang makin 500 tahun antara abad ke-15 setakat pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai macam sepuhan awam Jawa sebagai karangan sehari-perian maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beraneka macam. Karena pengaruh tradisi lisan yang langgeng, teks sastra tradisional Jawa sanding selalu disusun dalam rangka tembang nan dirancang cak bagi dilantukan, sehingga teks Jawa tidak cuma dinilai berbunga isi dan susunannya, tetapi juga dari irama dan nada pelantunan.[12]
Pujangga sastra Jawa lazimnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan kepribadian yunior, peran pujangga adalah kerjakan menggambar dan menyusun ulang kisah-cerita nan telah suka-suka ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Kesudahannya, karya sastra Jawa seperti mana
Cerita Panji
bukanlah sebuah pustaka dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang sirah pelopor Panji.[17]
Genre sastra dengan akar paling kuno merupakan wiracarita atau epos Sanskerta sebagai halnya Ramayana dan Mahabharata yang mutakadim disadur sejak waktu Hindu-Buddha dan memasyarakatkan dedengkot-inisiator pewayangan seperti Arjuna, Srikandi, Gatotkaca, dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Selam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah sebagaimana Amir Hamzah dan Nabi Yusuf juga menjadi salah satu subjek yang caruk dituliskan. Terletak pula tokoh-otak tempatan yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa terlampau, sebagai Pangeran Panji, Jabung Bulan, dan Calon Arang.[18]

Ketika kajian khusyuk mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perasaan halangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan kerjakan menciptakan leter Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya minimal awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis makanya Paul van Vlissingen yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan intern surat warta
Bataviasch Courant
edisi bulan Oktober 1825.[19]
Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang cukup dipuji sreg hari itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk nan canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan maka dari itu berbagai pihak seiring dengan berkembanganya amatan sastra Jawa.[20]
Plong tahun 1838, Taco Roorda menuntaskan fon cetak bikin abc Jawa nan beliau gubah berdasarkan langgam penulisan Surakarta[c]
dengan abnormal campuran elemen tipografi Eropa. Rencana Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, teks beraksara Jawa, dengan simbol Jawa yang digubah Roorda, menjadi normal beredar di khalayak umum dan diterapkan lagi dalam berbagai macam materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan pabrik percetakan yang selama sezaman ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari privat aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, sampai kendaraan massa populer seperti majalah
Kajawèn
yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan abjad Jawa.[16]
[22]
Pada tingkat tadbir, salah satu tulang beragangan penerapan abc Jawa adalah penggunaannya sebagai pelecok satu teks legal multi-bahasa dalam uang daluang Gulden yang disirkulasikan De Javasche Bank.[23]

Keruntuhan

Mesin tulis beraksara Jawa yang sangkutan dipakai oleh Kastil Surakarta dari waktu 1917–1960 cak bagi surat-menyurat, menciptakan menjadikan surat keputusan, dan informasi.[24]

Seiring dengan meningkatnya aplikasi bacaan masyarakat plong awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis: mencetak materi apa pun dengan abc Jawa pada waktu itu memerlukan hingga dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih leter Latin, sehingga produksi teks beraksara Jawa memakan lebih banyak hari dan biaya.[d]
Dalam bagan menindihkan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terengkuh bagi awam, berbagai penerbit seperti mana Balai Pustaka bertambah mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.[26]
Lamun seperti itu, mahajana Jawa di tadinya abad ke-20 menjurus tegar memperalat aksara Jawa kerumahtanggaan berbagai aspek nyawa. Dalam kegiatan surat-menyurat, sebagai, penggunaan abc Jawa dianggap makin lembut dan etis daripada penggunaan huruf Latin, terutama intern piagam untuk sosok yang lebih tua. Berbagai penerbit, tertera Aula Pustaka seorang, tetap mencetak buku, surat kabar, dan majalah internal huruf Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-kapling menurun. Pemakaian fonem Jawa yunior mengalami kemunduran yang berguna ketika Jepang menduduki Indonesia plong tahun 1942.[27]
Beberapa dabir melaporkan adanya aturan Jepang yang melarang pemakaian aksara Jawa dalam ranah publik.[e]
Doang tidak dipungkiri bahwa penggunaan huruf Jawa memang mengalami dekadensi yang bermanfaat plong zaman penundukan Jepang. Program-programa pendidikan pemerintahan yang baru didirikan sehabis Indonesia merdeka berfokus pada pendidikan Bahasa Indonesia dan penghancuran buta leter Latin, sehingga penggunaan aksara tidak kembali sebagaimana semula lega periode setelahkemerdekaan.[29]
[30]

Pendayagunaan kontemporer

Gagrag Surakarta. Aksara Jawa diletakkan di atas aksara Latin (Perwal Solo No. 3/2008).

Gagrag Yogyakarta. Abjad Latin diletakkan di atas aksara Jawa (Pergub DIY No. 70/2019).

Dalam mati kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi adegan dari indoktrinasi muatan lokal di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat. Beberapa dokumen publikasi dan majalah domestik memiliki kolom yang menggunakan fonem Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat masyarakat tertentu. Akan sekadar, banyak upaya kontemporer kerjakan menerapkan aksara Jawa saja bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak cak semau sekali lagi, perumpamaan cermin, informasi periodik sama dengan majalah
Kajawèn
nan isi substansialnya memperalat abc Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan huruf Jawa dan mengenal beberapa leter, tetapi berat ada yang makmur mengaji ataupun menulisnya secara substansial,[31]
[32]
sehingga sampai tahun 2022 tidak terik ditemukan gawang nama di tempat umum nan penulisan aksara Jawa-nya memiliki banyak kesalahan dasar.[33]
[34]
Beberapa obstruksi dalam upaya revitalisasi penggunaan aksara Jawa terdaftar perkakas elektronik nan berulangulang mengalami obstruksi teknis cak bagi menampilkan aksara Jawa tanpa galat, setidaknya instansi dengan kompetensi patut nan dapat dikonsultasikan, dan kurangnya eksplorasi tipografi nan menarik buat umum.[31]
[35]
Walaupun sejenis itu, upaya revitalisasi terus digeluti oleh beberapa komunitas dan tokoh masyarakat yang aktif membudayakan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama internal kendaraan digital.[35]

Rang

Huruf

Abc
adalah huruf dasar nan merepresentasikan suatu suku pembukaan. Lambang bunyi Jawa memiliki sekitar 45 fonem dasar, tetapi tak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat lambang bunyi yang tidak pula digunakan sementara sejumlah lainnya hanya digunakan puas konteks tertentu sehingga aksara-abjad dalam fonem Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa diversifikasi berdasarkan fungsi dan penggunaannya.


Wyanjana

Aksara wyanjana
(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah suatu aksara turunan Brahmi, aksara Jawa pada awalnya mempunyai 33 huruf
wyanjana
bagi menuliskan 33 obstulen konsonan yang digunakan n domestik bahasa Sanskerta dan Kawi. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:[36]
[37]

Aksara Wyanjana
(lajur kuno)
Tempat pelafalan Semivokal Sibilan Ruji-ruji
Nirsuara Bersuara Anuswara
Tidak Teraspirasi Teraspirasi Bukan Teraspirasi Teraspirasi
Velar Nglegena ka.png


ka

Uniform height Murda ka.png


kha

Nglegena ga.png


ga

Uniform height Murda ga.png


gha

Nglegena nga.png


ṅa[1]

Nglegena ha.png


ha/a[5]

Palatal Nglegena ca.png


ca

Uniform height Murda ca.png


cha

Nglegena ja.png


ja

Mahaprana ja.png


jha

Nglegena nya.png


ña2

Nglegena ya.png


ya

Uniform height Murda sa.png


śa[6]

Retrofleks Nglegena tha.png


ṭa[3]

Uniform height Mahaprana tha.png


ṭha

Uniform height Murda da.png


ḍa[4]

Uniform height Mahaprana dha.png


ḍha

Uniform height Murda na.png


ṇa

Nglegena ra.png


ra

Uniform height Mahaprana sa.png


ṣa

Dental Nglegena ta.png


ta

Uniform height Murda ta.png


tha

Nglegena da.png


da

Nglegena dha.png


dha

Nglegena na.png


na

Nglegena la.png


la

Nglegena sa.png


sa

Labial Nglegena pa.png


pa

Uniform height Murda pa.png


pha

Nglegena ba.png


ba

Uniform height Murda ba.png


bha

Nglegena ma.png


ma

Nglegena wa.png


wa

Catatan


^1

/ŋa/ sebagaimana nga dalam kata “mengalah”

^2

/ɲa/ begitu juga nya dalam kata “menyanyi”

^3

/ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa “kathah”

^4

/ɖa/ seperti mana dha kerumahtanggaan introduksi bahasa Jawa “padha”

^5

berperan ganda bagaikan fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi

Artikulasi berikut tidak digunakan privat bahasa Jawa bertamadun:


^6

/ɕa/ mendekati pelisanan sya internal pembukaan “syarat”

Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menunggangi keseluruhan huruf
wyanjana
kerumahtanggaan saf Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa bertamadun hanya menunggangi 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut ibarat
aksara nglegena
(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai
aksara murda
(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan jenama yang dihormati, baik tera tokoh legenda (misal Bima ditulis ꦨꦶꦩ) atau nyata (misal Pakubuwana ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).[38]
Bersumber 20 aksara
nglegena, sahaja 9 aksara nan punya bagan
murda, oleh karena itu penggunaan
murda
enggak identik dengan pemakaian huruf kapital di dalam ejaan Latin;[38]
apabila suku kata purwa satu cap tidak mempunyai bentuk
murda,
maka suku kata kedua yang menggunakan
murda. Apabila tungkai kata kedua juga tidak memiliki bagan
murda, maka suku kata ketiga yang menggunakan
murda, sejenis itu seterusnya. Etiket yang habis dihormati bisa ditulis seluruhnya dengan
murda
apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan
murda
tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya berperangai pilihan, sehingga nama begitu juga
Gani
bisa dieja ꦒꦤꦶ (sonder
murda), ꦓꦤꦶ (dengan
murda
di sediakala), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan
murda) tersidai mulai sejak satah pinggul dan konteks penulisan yang bersangkutan. Endap-endap aksara nan tak termasuk
nglegena
maupun
murda
yakni
abc mahaprana. Leter
mahaprana
tidak memiliki kekuatan n domestik penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.[36]
[f]

Aksara Wyanjana
(deret maju)
ha/a[1] na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegena Nglegena ha.png

Nglegena na.png

Nglegena ca.png

Nglegena ra.png

Nglegena ka.png

Nglegena da.png

Nglegena ta.png

Nglegena sa.png

Nglegena wa.png

Nglegena la.png

Nglegena pa.png

Uniform height Murda da.png

Nglegena ja.png

Nglegena ya.png

Nglegena nya.png

Nglegena ma.png

Nglegena ga.png

Nglegena ba.png

Nglegena tha.png

Nglegena nga.png

Murda Uniform height Murda na.png

Uniform height Murda ca.png

[2]
Uniform height ra agung.png

[3]
Uniform height Murda ka.png

Uniform height Murda ta.png

Uniform height Murda sa.png

Uniform height Murda pa.png

Murda nya.png

Uniform height Murda ga.png

Uniform height Murda ba.png

Mahaprana Nglegena dha.png

Uniform height Mahaprana sa.png

Uniform height Mahaprana dha.png

Mahaprana ja.png

Uniform height Mahaprana tha.png

Garitan


^1

bermain ganda ibarat huruf /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan

^2

ca murda hanya teratestasi dalam bentuk kebalikan,[3]
susuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer

^3

ra agung, mempunyai kekuatan yang serupa dengan aksara
murda
lainnya tetapi tidak dikenal secara luas karena penggunaannya nan terbatas di mileu kraton[36]


Swara

Abjad swara
(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis tungkai kata yang enggak mempunyai konsonan di awal, atau n domestik kata tidak kaki kata yang belaka terdiri vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 abc vokal yang diwarisi dari tali peranti catat Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagai halnya berikut:[37]

Aksara Swara
Ajang pelafalan Velar Palatal Labial Retrofleks Dental Velar-Palatal Velar-Labial
Pendek Vowel akara.png


a

Vowel ikara.png


i

Vowel ukara.png


u

Ganten pa cerek2.png


ṛ/re[1]

Ganten nga lelet2.png


ḷ/le[2]

Vowel ekara.png


é[3]

Vowel okara.png


ozon

Pangkat Vowel aakara.png

ꦄꦴ


ā

Vowel iikara.png


ī

Vowel uukara.png

ꦈꦴ


ū

Ganten pa cerek dirgha2.png

ꦉꦴ


ṝ/reu[4a]
[4b]

Ganten nga lelet raswadi2.png


ḹ/leu[5a]
[5b]

Vowel aikara.png


ai6

Vowel aukara.png

ꦎꦴ


au7

Catatan


^1

pa kan, /rə/ seperti re intern kata “remah”

^2

nga lelet, /lə/ sebagaimana le dalam kata “lunglai”

^3

/e/ sebagaimana e dalam alas kata “legit”

Pelafalan berikut tidak digunakan kerumahtanggaan bahasa Jawa maju:


^4a

pa kan dirgha, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan andai pelengkap sistem ilmu bunyi Pāṇini[41]

^4b

internal penulisan Sunda digunakan buat /rɨ/ sebagai halnya reu kerumahtanggaan kata bahasa Sunda “pireu”[42]

^5a

nga lelet raswadi, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya tetapi digunakan umpama pelengkap sistem ilmu bunyi Pāṇini[41]

^5b

dalam penulisan Sunda digunakan kerjakan /lɨ/ sebagaimana leu dalam kata bahasa Sunda “deuleu”[42]

^6

diftong /aj/ sebagaimana ai dalam kata “kali besar”

^7

diftong /aw/ seperti au pembukaan “pantau”

Sebagaimana fonem
wyanjana, bahasa Jawa beradab tidak lagi menggunakan keseluruhan leter
swara
n domestik lajur Sanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek nan biasanya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara
swara
digunakan bikin mewakili lambang bunyi
wyanjana
ha ꦲ (nan pelafalannya mungkin ambigu karena main-main ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) sreg jenama atau istilah asing yang pelafalannya perlu diperjelas.[43]

Pa cerek
ꦉ,
pa ketel dirgha
ꦉꦴ,
nga lelet
ꦊ, dan
nga lelet raswadi
ꦋ adalah konsonan silabis yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.[41]
[44]
Momen digunakan kerjakan bahasa selain Sanskerta, pengucapan keempat leter ini berulangulang beragam. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya
pa cerek
dan
nga lelet
yang digunakan;
pa cerek
dilafalkan /rə/ (sebagaimana re privat kata “remah”) sementara
nga lelet
dilafalkan /lə/ (seperti le dalam perkenalan awal “gontai”). Dalam pengajaran beradab, abc ini sering kali dipisahkan dari fonem
swara
menjadi kategori seorang yang disebut
abc gantèn. Kedua aksara ini perlu digunakan bagi mengganti tiap kombinasi ra+pepet
(ꦫꦼ → ꦉ) serta la+pepet
(ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.[45]



Rékan

Aksara rékan
(ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) ialah aksara tambahan yang digunakan lakukan menulis bunyi asing.[46]
Aksara ini puas awalnya dikembangkan bagi menuliskan kata serapan mulai sejak bahasa Arab, kemudian diadaptasi kerjakan kata serapan dari bahasa Belanda, dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan buat menulis pengenalan-kata bahasa Indonesia dan Inggris. Sebagian segara abjad
rékan
dibentuk dengan menambahkan diakritik
cecak telu
pada lambang bunyi nan bunyinya dianggap paling kecil mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai komplet, fonem
rékan
fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan
cecak telu
pada aksara
wyanjana
pa ꦥ. Ikatan
wyanjana
dan ekuivalen bunyi asing tiap
rékan
mana tahu berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa nan mengatur.

Terwalak panca leter rekan menurut Padmasusastra[47]
dan Dwijasewaya:[48]
kha, dza, fa, za, dan gha, doang menurut Hollander, terdapat sembilan:[49]

Huruf Rékan
ḥa kha qa dza sya fa/va za gha ‘a
Aksara Jawa Rekan ha2.png

ꦲ꦳
Rekan kha2.png

ꦏ꦳
Rekan qa2.png

[1]
Rekan dza2.png

ꦢ꦳
Rekan sya2.png

ꦱ꦳
Rekan fa2.png

ꦥ꦳
Rekan za2.png

ꦗ꦳
Rekan gha2.png

ꦒ꦳
Rekan 'a2.png

ꦔ꦳
Abjad Arab ح خ ق ذ ش ف ز غ ع
Catatan


^1

abc “ka Gedek”, aslinya namun digunakan dalam penulisan bahasa Tadir

Diakritik

Diakritik (sandhangan
ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda nan terarah sreg aksara untuk mengingkari vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga boleh dibagi ke privat sejumlah kelompok tergantung dari kurnia dan penggunaannya.


Swara

Sandhangan swara
(ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) yaitu
sandhangan
yang digunakan untuk memungkirkan vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:[50]

Sandhangan Swara
Pendek Panjang
-a -i -u [1] -ozon -e[2] -ai[3] -au[4] -eu[5a]
[5b]
Sandangan wulu.png

Sandangan suku.png

Sandangan taling.png

Sandangan taling-tarung.png

ꦺꦴ
Sandangan pepet.png

Sandangan tarung.png

Sandangan wulu melik.png

Sandangan suku mendut.png

Sandangan dirga mure.png

Sandangan dirga mure-tarung.png

ꦻꦴ
Sandangan pepet-tarung.png

ꦼꦴ
wulu tungkai taling taling-tarung pepet tarung wulu melik kaki mendut dirga muré dirga muré-tarung pepet-tarung
ka bopeng ku ko ke kai kau keu
ꦏꦶ ꦏꦸ ꦏꦺ ꦏꦺꦴ ꦏꦼ ꦏꦴ ꦏꦷ ꦏꦹ ꦏꦻ ꦭꦻꦴ ꦏꦼꦴ
Catatan


^1

/e/ seperti mana e dalam kata “enak”

^2

/ə/ seperti e dalam kata “catur”, bunyi bahasa Kawi yang tidak mulai sejak dari Sanskerta

Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:


^3

diftong /aj/ seperti ai dalam kata “batang air”

^4

diftong /aw/ seperti mana au dalam kata “pantau”

^5a

bunyi bahasa Kawi yang tidak dari mulai sejak Sanskerta, kerumahtanggaan amatan Kawi umum diromanisasi menjadi ö

^5b

dalam penulisan Sunda digunakan kerjakan /ɨ/ seperti eu dalam pembukaan bahasa Sunda “peuyeum”

Sebagaimana aksara
swara, cuma
sandhangan
vokal sumir yang umumnya diajarkan dan digunakan internal bahasa Jawa masa kini, sementara
sandhangan
vokal tingkatan digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.


Panyigeging wanda

Sandhangan panyigeging wanda
(ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan lakukan menutup satu suku pembukaan dengan konsonan, sebagaimana berikut:[51]

Sandhangan Panyigeging Wanda
anuswara[1] -ng -r -h pemati[2]
Sandangan panyangga.png

Sandangan cecak.png

Sandangan layar.png

Sandangan wignyan.png

Sandangan pangkon.png

panyangga cecak cucur wignyan pangkon
kam kang atlas kah k
ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Tulisan


^1

umumnya hanya ditemukan internal pertinggal lontar Bali untuk menuliskan kata keramat sebagaimana
ong
ꦎꦀ

^2

tak digunakan lakukan suku kata tertutup nan terjadi di tengah perkenalan awal atau kalimat (lihat musuh)


Wyanjana

Sandhangan wyanjana
(ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan semivokal dalam suatu kaki kata, seperti mana berikut:[52]

Sandhangan Wyanjana
-re -y- -r- -l- -w-
Sandangan keret.png

Sandangan pengkal.png

Sandangan cakra2.png

ꦿ
Sandangan panjingan la.png

꧀ꦭ
Sandangan gembung wa.png

꧀ꦮ
keret pengkal cakra panjingan la gembung
kre kya kra kla kwa
ꦏꦽ ꦏꦾ ꦏꦿ ꦏ꧀ꦭ ꦏ꧀ꦮ

Pasangan

Vokal inheren berbunga tiap abc pangkal boleh dimatikan dengan pendayagunaan diaktrik
pangkon. Akan hanya,
pangkon
normalnya tidak digunakan di perdua kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku pembukaan tertutup di tengah alas kata dan kalimat, digunakanlah bentuk
kutub
(ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan
pangkon,
pasangan
enggak hanya mematikan konsonan nan diiringinya tetapi lagi menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, leter
ma
(ꦩ) yang diiringi tulang beragangan
antitesis
dari
pa
(꧀ꦥ) menjadi
mpa
(ꦩ꧀ꦥ). Tulangtulangan
jodoh
setiap aksara ada di tabel berikut:[53]

Abc
dan
Musuh
ha/a na ca ra ka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga
Nglegena Lambang bunyi Nglegena ha.png

Nglegena na.png

Nglegena ca.png

Nglegena ra.png

Nglegena ka.png

Nglegena da.png

Nglegena ta.png

Nglegena sa.png

Nglegena wa.png

Nglegena la.png

Nglegena pa.png

Uniform height Murda da.png

Nglegena ja.png

Nglegena ya.png

Nglegena nya.png

Nglegena ma.png

Nglegena ga.png

Nglegena ba.png

Nglegena tha.png

Nglegena nga.png

Pasangan Pasangan nglegena ha.png

꧀ꦲ
Pasangan nglegena na.png

꧀ꦤ
Pasangan nglegena ca.png

꧀ꦕ
Pasangan nglegena ra.png

꧀ꦫ
Pasangan nglegena ka.png

꧀ꦏ
Pasangan nglegena da.png

꧀ꦢ
Pasangan nglegena ta.png

꧀ꦠ
Pasangan nglegena sa.png

꧀ꦱ
Pasangan nglegena wa.png

꧀ꦮ
Pasangan nglegena la.png

꧀ꦭ
Pasangan nglegena pa.png

꧀ꦥ
Pasangan nglegena dha.png

꧀ꦝ
Pasangan nglegena ja.png

꧀ꦗ
Pasangan nglegena ya.png

꧀ꦪ
Pasangan nglegena nya.png

꧀ꦚ
Pasangan nglegena ma.png

꧀ꦩ
Pasangan nglegena ga.png

꧀ꦒ
Pasangan nglegena ba.png

꧀ꦧ
Pasangan nglegena tha.png

꧀ꦛ
Pasangan nglegena nga.png

꧀ꦔ
Murda Lambang bunyi Uniform height Murda na.png

Uniform height Murda ca.png

Uniform height ra agung.png

Uniform height Murda ka.png

Uniform height Murda ta.png

Uniform height Murda sa.png

Uniform height Murda pa.png

Murda nya.png

Uniform height Murda ga.png

Uniform height Murda ba.png

Tampin Pasangan murda na.png

Pasangan murda ca.png

꧀ꦖ[1]
Pasangan lain-lain ra agung.png

꧀ꦬ
Pasangan murda ka.png

꧀ꦑ
Pasangan murda ta.png

꧀ꦡ
Pasangan murda sa.png

꧀ꦯ
Pasangan murda pa.png

꧀ꦦ
Pasangan murda nya.png

꧀ꦘ
Pasangan murda ga.png

꧀ꦓ
Pasangan murda ba.png

꧀ꦨ
Mahaprana Aksara Nglegena dha.png

Uniform height Mahaprana sa.png

Uniform height Mahaprana dha.png

Mahaprana ja.png

Uniform height Mahaprana tha.png

Kebalikan Pasangan murda da.png

꧀ꦣ
Pasangan mahaprana sa.png

꧀ꦰ
Pasangan mahaprana dha.png

꧀ꦞ
Pasangan mahaprana ja.png

꧀ꦙ
Pasangan mahaprana tha.png

꧀ꦜ
Goresan

     tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari
pasangan, semata-mata mengindikasikan posisi abjad yang diiringinya

^1

kerap digunakan sebagai bagian dari
pepadan
yang bukan punya fungsi fonetis

^2

rival intern tabulasi ini yakni tulang beragangan yang digunakan kerumahtanggaan penulisan Jawa modern. Beberapa aksara punya bentuk kutub yang berlainan privat penulisan Sanskerta-Kawi

Abstrak eksploitasi musuh dapat dilihat sebagaimana berikut:

suku cadang penulisan kabar
Nglegena ha.png + Nglegena ka.png + Sandangan pangkon.png + Nglegena sa.png + Nglegena ra.png = aksara a + (ka + (pangkon + sa)) + ra → a + (ka + (pasangan sa)) + ra = a(ksa)ra
Nglegena ka.png + Nglegena na.png + Sandangan pangkon.png + Nglegena tha.png + Sandangan wulu.png = aksara ka + (na + (pangkon + tha) + -i) → ka + (na + (pasangan tha) + -i) = ka(nthi)

Skor

Leter Jawa n kepunyaan lambang bilangannya sendiri yang berlaku sememangnya angka Arab, sekadar sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa fonem Jawa, semisal biji 1 ꧑ dengan abc
wyanjana
ga ꦒ, atau kredit 8 ꧘ dengan aksara
murda
pa ꦦ. Karena pertepatan gambar ini, nilai yang digunakan di paruh kalimat perlu diapit dengan jenama baca
pada pangkat
alias
pada lingsa
untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang garis hidup. Semisal, “tanggal 17 Juni” ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan mutakadim jelas bersumber konteks, misal nomor halaman di pojok plano. Bentuknya boleh dilihat seperti mana berikut:[54]
[55]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Angka 0.png

Angka 1.png

Angka 2.png

Angka 3.png

Angka 4.png

Angka 5.png

Angka 6.png

Angka 7.png

Angka 8.png

Angka 9.png

Segel baca

Bacaan tradisional Jawa ditulis minus spasi antarkata (scriptio continua) dan punya sejumlah tanda baca nan disebut
plong
(ꦥꦢ).

Ibarat pemisah antar kalimat, leter Jawa menggunakan sreg lungsi (꧉) apabila suku pembukaan buncit terbuka (lain suka-suka pangkon), tetapi menunggangi pada lingsa (꧈) apabila suku pembukaan terakhir tertutup (menunggangi pangkon). Sebaliknya, sebagai pemisah antar anak asuh kalimat, aksara Jawa memperalat lega lingsa (꧈) apabila silabel keladak tertutup, doang menggunakan pemisah spasi apabila tungkai kata terakhir mangap. Peraturan penulisan ini berbeda dengan pemanfaatan noktah dan koma sreg penulisan Latin, dan lain selit belit lain dipahami dengan baik oleh pengguna fonem Jawa.

Selain itu, dalam fonem Jawa tidak memiliki dagi untuk etiket baca tanda cak bertanya, tanda seru, tanda hubung, simbol-huruf angka matematika (tercantum garis miring), dan titik koma. Oleh karena itu, suatu kalimat nan ditulis dalam abc Jawa dapat diketahui sebagai kalimat interogatif (tanya) ataupun imperatif (perintah) bersumber konteksnya saja.

Berbagai rupa lembaga pada sebagai halnya berikut:

Sreg
lingsa lungsi adeg adeg-adeg pisèlèh rerenggan pangkat rangkap arsip koreksi
andhap madya luhur master pancak tirta tumètès isèn-isèn
Pada lingsa1.png

Pada lungsi1.png

Pada adeg2.png

Pada adeg-adeg.png

Pada piseleh kiri kanan.png

꧌…꧍
Pada rerenggan kiri kanan.png

꧁…꧂
Pada pangkat1.png

Pada rangkep.png

Pada surat andhap.png

Pada surat madya.png

Pada surat luhur.png

Pada guru1.png

꧋꧆꧋
Pada pancak1.png

꧉꧆꧉
Pada tirta tumetes tiga.png

꧞꧞꧞
Pada tirta isen-isen tiga.png

꧟꧟꧟

N domestik pengajaran bertamadun, bunyi bahasa yang minimal sering digunakan ialah
pada adeg-adeg,
pada lingsa, dan
pada lungsi, nan masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana
pillcrow), memisahkan kalimat (sebagaimana koma), dan mengakhiri kalimat (sama dengan bintik).
Lega adeg
dan
pada pisèlèh
rata-rata digunakan cak bagi piting sisipan di perdua teks seperti lingkung atau petik, sementara
plong tahapan
berfungsi seperti bintik dua.
Puas rangkap
kadang digunakan sebagai jenama pengulangan kata yang dalam bahasa Indonesia informal sepadan dengan penggunaan angka 2 untuk kata berulang (umpama
perkenalan awal-kata
ꦏꦠꦏꦠ →
kata2
ꦏꦠꧏ).[56]

Beberapa keunggulan baca bukan n kepunyaan ekivalen dalam ejaan latin dan sering kelihatannya berkarakter dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal
rerenggan
yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam dokumen-menyurat, semberap tanda baca digunakan di awal surat sebagai jenama pembuka dan kadang digunakan pula ibarat penanda martabat sosial bersumber sang pengirim surat; bermula
sreg andhap
yang rendah,
pada menengah
yang menengah, hingga
pada luhur
yang tinggi.
Pada suhu
kadang digunakan andai pilihan netral yang bukan memiliki signifikansi sosial, temporer
pada pancak
digunakan untuk mengakhiri piagam. Belaka perlu diperhatikan bahwa rajah dan arti ini adalah pendirian yang digeneralisasi. Begitu juga
rerenggan, tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam pernah tulangtulangan nan bermacam-macam antara daerah dan carik.[56]

Detik terjadi kesalahan kerumahtanggaan penulisan naskah, bilang panitera keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih menyetrip episode yang pelecok:
tirta tumétès
yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan
isèn-isèn
yang ditemukan di skenario Surakarta. Tanda koreksi ini berbarengan dibubuhkan mengimak bagian yang salah sebelum juru tulis melanjutkan dengan penulisan yang sopan. Semisal seorang penyadur ingin menulis
pada indah
ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis
pada hu
ꦥꦢꦲꦸ sebelum sira bangun kesalahannya, maka pembukaan ini bisa dikoreksi menjadi
puas hu···luhur
ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.[57]


Pepadan

Selain tanda baca formal, salah satu ciri tunggal penyadur abjad Jawa adalah
pepadan
(ꦥꦼꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang rangka dan pengerjaannya sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat begitu juga berikut:

Pepadan
sreg mungil pada ki akbar
Pepadan from serat jayalengkara 9r.jpg Pepadan from babad mataram 10r.jpg Pepadan from serat jayalengkara 24r.jpg Pepadan from serat selarasa 44r.jpg Pepadan from jatikusuma 50v.jpg
Pada surat luhur.png

Pada tembang purwa.png

꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅

Organ simbol
pepadan
dapat dikenal dengan bervariasi nama internal pustaka-teks tradisional. Behrend (1996) membagi
pepadan
ke dalam dua kelompok umum:
pada katai
yang adalah stempel baca tunggal, serta
puas besar
yang buruk perut kali disusun berleret dari bilang tanda baca.
Pada kecil
digunakan bagi melambangkan pergantian bait yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 tungkai prolog tergantung metrum nan digunakan.
Pada ki akbar
digunakan untuk menandakan peralihan tembang (diikuti lagi maka itu metrum, irama, dan citra pelantunan) yang galibnya muncul tiap 5 sebatas 10 pelataran, meski hal ini lampau tergantung dari susunan tulisan tangan nan bersangkutan.[58]
Pedoman penulisan huruf Jawa sering kali membagi pada lautan menjadi tiga jenis plong,
purwa sreg
꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ yang digunakan di sediakala syair permulaan,
madya pada
꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan
wasana pada
꧅ ꦆ ꧅ nan digunakan di akhir puisi terakhir.[56]
Saja karena bentuknya yang sangat berjenis-jenis antarnaskah, tiga merek baca ini sering kali meluluh dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian ki akbar naskah Jawa.[59]

Pepadan
yakni unsur abc yang paling menonjol dalam naskah Jawa dan damping camar ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang membentangi kaligrafi, pewarnaan, setakat penyepuhan dengan kertas emas.[60]
Dalam bilang naskah rani, bentuk
pepadan
bahkan bisa menjadi ajaran bagi tembang nan digunakan;
pepadan
dengan anasir sayap alias figur burung nan menyerupai dendang (dhandhang
n domestik bahasa Jawa) merujuk pada puisi
dhandhanggula, tentatif
pepadan
dengan molekul ikan mas merujuk puas tembang
maskumambang
(secara lurus berarti “emas mengambang di air”). Salah suatu siasat penulisan skrip dengan goresan
pepadan
yang paling indah adalah skriptorium Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta.[59]
[61]

Pemencetan

Aksara Jawa modern umum diurutkan menunggangi ririt Hanacaraka yang dinamakan bersendikan lima aksara pertama dalam leret tersebut.[g]
Intern cumbu tersebut, ke-20 aksara radiks nan digunakan dalam bahasa Jawa bertamadun membentuk sebuah pangram yang berkali-kali dikaitkan dengan mite Aji Saka.[62]
[63]
Dasar-usul baris ini tidak diketahui dengan pasti, hanya jajar Hanacaraka diperkirakan sudah digunakan oleh masyarakat Jawa sekurang-kurangnya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima supremsi Islam yang signifikan.[64]
[65]
Terletak berbagai diversifikasi tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris nan konon terkandung dalam urutan hanacaraka.[66]
[67]

Ririt Hanacaraka
Hanacaraka legend 1.png Hanacaraka legend 2.png Hanacaraka legend 3.png Hanacaraka legend 4.png
ꦲꦤꦕꦫꦏ ꦢꦠꦱꦮꦭ ꦥꦝꦗꦪꦚ ꦩꦒꦧꦛꦔ
(h)ana caraka

terserah dua utusan
data sawala

yang berselisih pendapat
padha jayanya

sama kuatnya
maga bathanga

inilah jenazah mereka

Ririt hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan huruf Jawa. Bagi penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi nan memerlukan 33 aksara dasar, abjad Jawa dapat diurutkan berlandaskan tempat pelafalannya (penghuni) menurut mandu ilmu bunyi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh Pāṇini.[37]
[64]
Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga bersendikan tiga huruf pertamanya, merupakan deret standar dalam fonem-aksara turunan Brahmi yang masih bisa digunakan bakal menulis bahasa Sanskerta, sebagai halnya aksara Dewanagari, Tamil, dan Khmer.

Jejer Sanskerta (Kaganga)
Pancawalimukha Ardhasuara Ūṣma Wisarga
Kaṇṭya Tālawya Mūrdhanya Dantya Oṣṭya
Labiaal.svg Dentaal.svg Retroflex.svg Palataal.svg Velaar.svg
ꦏꦑꦒꦓꦔ ꦕꦖꦗꦙꦚ ꦛꦜꦝꦞꦟ ꦠꦡꦢꦣꦤ ꦥꦦꦧꦨꦩ ꦪꦫꦭꦮ ꦯꦰꦱ
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha

Contoh teks

Berikut yaitu cuplikan
Pupuk Katuranggan Kucing
nan dicetak sreg tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa bertamadun.[68]

Pada Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
7 ꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀‍꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈
Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, ki gua garba kiwa tèmbong safi, leksanira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ipun, yèn bundhel langkung utama Meong yang berwarna hitam semua semata-mata kandungan jihat kirinya terwalak tèmbong (calit) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini mengirimkan kebaikan nyata tercapainya semua keinginan. Kian baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
8 ꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀‍꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀‍꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈ Aja anda ngingu meong, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa Meong dengan bulu lorek hitam berekor panjang jangan dipelihara. Meong itu disebut dhadhang sungkawa. Kehidupanmu akan pelalah bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tak kelainan.

Berikut adalah cuplikan dari
Kakawin Rāmāyaṇa
nan dicetak lega tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.[69]
[70]

Sreg Bahasa Jawa Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
XVI


31

꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉ Jahnī yāhning talaga kadi langit, hantu tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada. Air jernih haud misal langit, seekor lelabi mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-anakan yang bertebaran, menyebarkan sarinya perumpamaan awan.

Rasio dengan aksara Bali

Kerabat paling sanding dari aksara Jawa adalah leter Bali. Sebagai baka langsung lambang bunyi Kawi, aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur bawah masing-masing leter. Salah suatu perbedaan mencolok antara huruf Jawa dan Bali merupakan sistem penyelenggaraan tulis; Tata tulis Bali merentang bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek bersumber ejaan Kawi yang enggak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai model, pembukaan
desa
kerumahtanggaan aksara Jawa masa ini ditulis ꦢꦺꦱ. N domestik tata catat Bali mutakhir, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena
desa
adalah kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya:
deśa
ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa
murda
alih-alih leter sa
nglegena. Seperti bahasa Jawa, bahasa Bali kembali tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara internal deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa
nglegena
dan sa
murda, tetapi ejaan tulen selalu dipertahankan kapan pula memungkinkan. Salah suatu alasannya agar sejumlah kata serapan mulai sejak bahasa Sanskerta-Kawi nan bunyinya sama dalam bahasa Bali bisa kukuh dibedakan dalam karangan, misal antara kata
pada
(ꦥꦢ, tanah/bumi),
pāda
(ꦥꦴꦢ, kaki), dan
padha
(ꦥꦣ, sama), serta antara kata
asta
(ꦲꦱ꧀ꦠ, ialah),
astha
(ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan
aṣṭa
(ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).[71]
[72]
[73]

Nisbah tulang beragangan kedua aksara tersebut bisa dilihat seperti mana berikut:

Abc Dasar (konsonan)
ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa śa ṣa sa ha/a
Jawa
Bali
Aksara Asal (vokal)
a ā i ī u ū é[1] ai[2] ozon au[3]
Jawa ꦄꦴ ꦈꦴ ꦉꦴ ꦎꦴ
Bali
Catatan


^1
/e/ sebagaimana e dalam kata “enak”

^2

diftong /aj/ sama dengan ai intern alas kata “batang air”

^3

diftong /aw/ seperti mana au dalam alas kata “pantau”

Diakritik
-a -i -u -ṛ -ṝ [1] -ai[2] -udara murni -au[3] -e[4] -eu[5] -m -ng -r -h pemati
Jawa ꦽꦴ ꦺꦴ ꦻꦴ ꦼꦴ
Bali








ᬿ









ka capuk ku kṛ kṝ kai ko kau ke keu kam kang atlas kah k
Jawa ꦏꦴ ꦏꦶ ꦏꦷ ꦏꦸ ꦏꦹ ꦏꦽ ꦏꦽꦴ ꦏꦺ ꦏꦻ ꦏꦺꦴ ꦭꦻꦴ ꦏꦼ ꦏꦼꦴ ꦏꦀ ꦏꦁ ꦏꦂ ꦏꦃ ꦏ꧀
Bali ᬓᬵ ᬓᬶ ᬓᬷ ᬓᬸ ᬓᬹ ᬓᬺ ᬓᬻ ᬓᬾ ᬓᬿ ᬓᭀ ᬓᭁ ᬓᭂ ᬓᭃ ᬓᬁ ᬓᬂ ᬓᬃ ᬓᬄ ᬓ᭄
Catatan


^1

/e/ sebagai halnya e dalam kata “eco”

^2

diftong /aj/ sama dengan ai dalam kata “sungai”

^3

diftong /aw/ sebagaimana au kerumahtanggaan pembukaan “pantau”

^4

/ə/ begitu juga e dalam kata “empat”

^5

/ɨ/ sebagaimana eu kerumahtanggaan kata bahasa Sunda “peyeum”. Internal transliterasi bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö[37]

Angka
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jawa
Bali
Tanda Baca
Jawa pada lingsa lega lungsi pada tataran pada adeg-adeg puas luhur
Bali penyadur siki carik parérén penulis pamungkah panti pamada
Teladan Kalimat (bahasa Kawi)
Jawa ꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉
Bali ᭛ᬚᬳ᭄ᬦᬷᬬᬵᬳ᭄ᬦᬶᬂᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶᬢ᭄᭞ ᬫᬫ᭄ᬩᬂᬢᬂᬧᬵᬲ᭄ᬯᬸᬮᬦᬸᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦ᭄ᬢᬂᬢᬸᬮ᭄ᬬᬂᬓᬸᬲᬸᬫᬬᬲᬸᬫᬯᬳᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫ᭄ᬭᬧ᭄ᬯᬾᬓᬂᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟
Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās bulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada.

(Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)

Penggunaan n domestik bahasa Madura

Leter Jawa di intern bahasa Madura disebut
Carakan Madhurâ
atau
Carakan Jhâbân
(abjad nan berasal dari Jawa). Apabila dalam penggunaan bahasa Jawa tiap aksara boleh merepresentasikan suara /a/ atau /ɔ/, maka kerumahtanggaan bahasa Madura mengambil alih kritik /a/ atau /ɤ/. Bentuk
carakan Madhurâ
sendiri terdiri berbunga
aksara ghâjâng
(huruf nglegena),
aksara rajâ
atau
murdâ
(aksara murda),
aksara sowara
atau
swara
(lambang bunyi swara), dan
aksara rèka’an
(fonem rékan). Terdapat pula
pangangghuy
(sandhangan) nan terdiri semenjak
pangangguy aksara
(sandhangan swara),
pangangghuy panyèghek
(sandhangan panyigeging wanda), dan
pangangghuy panambâ
(sandhangan wyanjana).[74]
[75]
[76]
[77]
[78]

Perbandingan dengan bahasa Jawa

Secara garis osean, lain terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Cak agar demikian, dalam bahasa Madura tidak terletak perbedaan pemanfaatan konsonan aspirat dan tanaspirat.[79]

Leter Ghâjâng
(Abjad Nglegena)
ha na ca ra ka da dha ta sa wa la pa ḍa ḍha ja jha ya nya ma ga gha ba bha tha nga
Jawa
ha na ca ra ka da/dha ta sa wa la pa ḍa/ḍha ja/jha ya nya ma ga/gha ba/bha tha nga
Madura

Aksara rèka’an
internal bahasa Madura yang diajarkan di sekolah-sekolah saja ada lima buah, padahal dalam
Madoereesche Spraakkunst
dan
Sorat tjarakan Madurah
berangkaian terletak tujuh dan sembilan buah:[80]
[81]

Aksara Rèka’an
(Abjad Rékan)
ha kha dza fa/va za gha ‘a ta sya la
Aksara Jawa ꦲ꦳ ꦏ꦳ ꦢ꦳ ꦥ꦳ ꦗ꦳ ꦒ꦳ ꦔ꦳ ꦠ꦳ ꦯ꦳ ꦭ꦳
Abjad Arab ح خ ذ ف ز ع غ ط ش ل
Bahasa Belanda h ch f/v g
Contoh ꦲ꦳ꦺꦴꦏꦺꦴꦩ꧀ ꦲꦏ꦳ꦺꦫꦠ꧀ ꦢ꦳ꦶꦏ꧀ꦏꦺꦂ ꦭꦥ꦳ꦭ꧀ ꦗ꦳ꦏꦠ꧀ ꦒ꦳ꦲꦶꦧ꧀ ꦔ꦳ꦏꦺꦫꦠ꧀ ꦠ꦳ꦫꦺꦏ꧀ ꦯ꦳ꦫꦠ꧀ ꦭ꦳ꦲꦶꦧ꧀
Alih aksara hokom akhèrat dzikkèr lafal zâkat ghaib
akèrat
tarèk syarat laib

Perbedaan lainnya yaitu penggunaan
wignyan
yang dalam bahasa Jawa berfungsi sebagai akhiran
-h, sedangkan n domestik bahasa Madura menjadi sufiks


sebagaimana pada grafik berikut:[74]
[82]

Pangangghuy
(Sandhangan)
Pangangghuy abjad Pangangghuy panyèghek Pangangghuy panambâ
i è o u e -ng -r -‘ pemati -r- -re -y- -l- -w-
ꦺꦴ ꦿ ꧀ꦭ ꧀ꦮ
cèthak lèngè lèngè-membengang soko petpet cekcek lajâr bisat papatèn pèḍer perper sokomaljâ la rangkep wa rangkep
pi po pu pe pang par pa’ p pra pre pya pla pwa
ꦥꦶ ꦥꦺ ꦥꦺꦴ ꦥꦸ ꦥꦼ ꦥꦁ ꦥꦂ ꦥꦃ ꦥ꧀ ꦥꦿ ꦥꦿ ꦥꦾ ꦥ꧀ꦭ ꦥ꧀ꦮ

Hipotetis penggunaan
Berikut penggunaan
carakan
intern
Portal oreng megha djhoeko e’tana Djhaba sareng Madhoera
(Bab orang menganyam ikan di Kapling Jawa dan Madura) disertai dengan ejaan bahasa Madura beradab.[83]

Bahasa Madura Bahasa Indonesia
Aksara Jawa Latin
ꦥꦫꦲꦺꦴꦥꦩꦺꦒꦃꦲꦤ꧀ꦤꦺꦥꦺꦴꦤ꧀ꦗꦸꦏꦺꦴꦃꦏꦺꦔꦺꦁꦧꦶꦢꦃꦲꦒꦶꦢꦢ꧀ꦢꦶꦝꦸꦧꦂꦤ꧇ Parao pamèghâ’ânnèpon jhuko’ kèngèng bhidhâ’aghi dhâddhi ḍu bârna: Perahu penangkap ikan bisa dibedakan menjadi dua macam:
꧑꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴ꧈ ꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦏꦗꦸꦧꦸꦁꦏꦺꦴꦭ꧀ꦱꦺꦲꦺꦭꦺꦴꦧꦔꦺ꧉ ꦧꦝꦱꦺꦲꦺꦱꦺꦩ꧀ꦧꦸꦏꦗꦸꦥꦺꦴꦭꦺꦲꦺꦥꦺꦁꦒꦶꦂ꧈ ꦧꦝꦱꦺꦧꦸꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀꧈ 1. Parao, sè èbhâḍhi ḍâri kaju bungkol sè èlobângè. Bâḍâ sè èsèmbu polè è pèngghir, bâḍâ sè bhunten 1. Perahu, yang dibuat dari gawang melingkar yang dilubangi. Ada yang ditambah lagi di pinggir, ada yang lain
꧒꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦥꦥꦤ꧀ꦫꦧ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦱꦢꦗ꧉ 2. Parao sè èbhâḍhi gawang rabten bân sadhâjâ. 2. Lambu yang dibuat dari papan dan seluruhnya.

Blok Unicode

Aksara Jawa sah dimasukkan ke dalam Unicode sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terdapat pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode nan mencangam 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abuk menunjukkan bintik kode yang belum terpakai.

Javanese
[1]
[2]

Bagan kode resmi Unicode Consortium (PDF)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 A B C D E F
U+A98x















U+A99x















U+A9Ax















U+A9Bx















ꦿ
U+A9Cx














U+A9Dx











Catatan

1.
^
Sendirisendiri Unicode versi 14.0
2.
^
Abu-abu berarti tutul kode kosong
Lihat juga Tabel alternatif Unicode fonem Jawa nan diurutkan berdasarkan hanacaraka

Galeri

Lihat pula

  • Bahasa Jawa
  • Sastra Jawa
  • Kongres Aksara Jawa
  • Abjad Nusantara
  • Jawanisasi (aksara)

Garitan


  1. ^

    Adapun kelakuan langgam aksara Jawa, Ufuk E Behrend menulis sebagaimana berikut:

    Javanese script was used over the entire period of Modern Javanese literature, and throughout the island, at a time when there was no easy means of communication between remote areas and no impulse towards standardization. As a result, there is a huge variety in historical and local styles of Javanese writing throughout the ages. The ability of a person to read a bark-paper manuscript from the town of Demak, say, written around 1700, is no guarantee that that person would also be able to make sense of a palm-leaf manuscript written at the same time only 50 miles away on the slopes of mount Merapi. The great differences between regional styles almost makes it seem that “Javanese script” is in fact a family of script, and not just one.[9]

    Abc Jawa digunakan sepanjang masa sastra Jawa modern, dan digunakan di seantero pulau Jawa, di masa ketika komunikasi antarwilayah berulangulang selit belit dan tidak terdapat galakan bagi menstandarisasi huruf Jawa. Akibatnya, abc Jawa memiliki berbagai langgam bersejarah dan kedaerahan nan digunakan silih-berganti seiring waktu. Kemampuan seseorang bikin membaca naskah dluwang dari Demak yang ditulis pada hari 1700-an, semisal, lain menjadi jaminan orang yang sejajar dapat memahami abjad pada naskah lontar dari suku gunung Merapi (sekeliling 80 km dari Demak) yang ditulis pada tahun masa yang setimbang. Perbedaan yang sangat besar antara langgam-langgam negeri mengasihkan kesan bahwa “aksara Jawa” ialah sekumpulan aksara, alih-alih sebuah abjad tunggal.

    —Behrend (1996:162)


  2. ^

    VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa nan beroperasi antara tahun 1665–1681. Sahaja pabrik tersebut tidak mampu menepati semua permintaan kertas di Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengapalan dari Eropa.[15]

  3. ^

    Untuk kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui bak langgam aksara Jawa yang paling sani sehingga pengambil inisiatif sebagaimana J.F.C. Gericke menyarankan agar langgam Surakarta dijadikan panutan lakukan membentuk rancangan abjad Jawa yang sepan.[21]

  4. ^

    Sebagaimana dituturkan oleh direktur Balai Poestaka D.A. Rinkes plong tahun 1920 dalam sekapur sirih katalog daya-buku Jawa himpunan Bataviaasch Genootschap:

    Bovendien is voor den druk het Latijnsche lettertype gekozen, hetgeen de zaak voor Europeesche gebruikers aanzienlijk vergemakkelijkt, voor Inlandsche belangstellended geenszins een bezwaar oplevert, aangezien de Javaansche taal, evenals bereids voor het Maleisch en het Soendaneesch gebleken is, zeker niet ewuh pakewuh duidelijk in Latijnsch type dan in het Javaansche schrift is weer te geven. Daarbij zijn de kosten daarmede ongeveer ⅓ van druk in Javaansch karakter, aangezien drukwerk in dat type, dat bovendien niet ruim voorhanden is, 1½ à 2 x kostbaarder (en tijdroovender) uitkomt dan in Latijnsch type, mede doordat het niet op de zetmachine kan worden gezet, en een pagina Javaansch type sleechts ongeveer de helft aan woorden bevat van een pagina van denzelfden tekst in Latijnsch karakter.[25]

    Selain itu, huruf Latin dipilih untuk pencetakan [buku bersopan santun Jawa], kejadian ini lain semata-mata melicinkan bagi pembaca Eropa, belaka juga tidak dikeluhkan maka dari itu pembaca Pribumi, karena bahasa Jawa, begitu juga bahasa Melayu dan bahasa Sunda, terbukti tetap bisa dipahami dengan baik ketika ditulis menggunakan huruf Latin dan lain kalah jelas dibanding penulisan yang menggunakan lambang bunyi Jawa. Dengan begitu, biaya boleh ditekan setakat ⅓ terbit biaya cetak abjad Jawa, menghafal bahwa mencetak dengan fonem Jawa, nan peralatannya tidak selalu tersuguh, dapat jadi 1½ hingga 2 kali lipat gado kian banyak biaya (dan waktu) dibanding mencetak dengan aksara Latin, dan mengingat pula aksara Jawa tidak dapat dicetak memperalat mesin
    setting, dan selembar teks beraksara Jawa hanya dapat memuat sekitar setengah jumlah kata dibanding lembar teks sama yang sudah dialihaksarakan menjadi lambang bunyi Latin.

    —Poerwa Soewignja dan Wirawangsa (1920:4), disadur oleh Molen (1993:83)


  5. ^

    Meski dokumentasi atau catatan perintah normal bermula larangan tersebut tidak diketahui. Misal perbandingan, tadbir Jepang yang menduduki Kamboja pada masa waktu yang separas justru menghapus upaya eksploitasi aksara Latin yang dimulai pemerintahan kolonial Kamboja Prancis dan mengembalikan penggunaan lambang bunyi Khmer laksana aksara halal Kamboja.[28]

  6. ^

    Komplet kata dengan aksara
    mahaprana
    yang digunakan dalam penulisan Kawi misal
    aṣṭa
    (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan)[39]
    dan
    nirjhara
    (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun).[40]

  7. ^

    Setara dengan kata “alfabet” yang berpangkal dari keunggulan dua abc permulaan dalam alfabet Yunani (A-B, alfa-beta) serta alas kata “abjad” yang berusul dari catur abc pertama internal abjad Arab (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).

Rujukan


  1. ^

    Poerwadarminta 1939, hlm. 627.

  2. ^

    Behrend 1996, hlm. 161.
  3. ^


    a




    b



    Everson 2008, hlm. 1.

  4. ^


    Tarmid, Muhammad. “Silabus bahasa Indramayu Sekolah Dasar”. Indramayu: UPTD Pendidikan Kecamatan Kroya.




  5. ^


    Widiarti, Anastasia Rita; Pulungan, Reza (28 April 2022). “A method for solving scriptio continua in Javanese manuscript transliteration”.
    Heliyon
    (internal bahasa Inggris).
    6
    (4): e03827. doi:10.1016/j.heliyon.2020.e03827. ISSN 2405-8440.





  6. ^


    Holle, K F (1882). “Tabulasi van oud-en nieuw-Indische alphabetten”
    (PDF).
    Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie. Batavia: W. Bruining: xi, 9-35. OCLC 220137657.





  7. ^


    Casparis, J G de (1975).
    Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500.
    4. Brill. ISBN 9004041729.




  8. ^


    a




    b



    Behrend 1996, hlm. 161-162.
  9. ^


    a




    b



    Behrend 1996, hlm. 162.

  10. ^

    Moriyama 1996, hlm. 166.

  11. ^

    Moriyama 1996, hlm. 167.
  12. ^


    a




    b



    Behrend 1996, hlm. 167-169.

  13. ^


    Hinzler, H I R (1993). “Balinese palm-leaf manuscripts”.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
    149
    (3). doi:10.1163/22134379-90003116.




  14. ^


    a




    b




    c



    Behrend 1996, hlm. 165-167.
  15. ^


    a




    b




    c




    Teygeler, R (2002). “The Myth of Javanese Paper”. Intern R Seitzinger.
    Timeless Paper
    (dalam bahasa Inggris). Rijswijk: Gentenaar & Torley Publishers. ISBN 9073803039.




  16. ^


    a




    b



    Molen 2000, hlm. 154-158.

  17. ^

    Behrend 1996, hlm. 172.

  18. ^

    Behrend 1996, hlm. 172-175.

  19. ^

    Molen 2000, hlm. 137.

  20. ^

    Molen 2000, hlm. 136-140.

  21. ^

    Molen 2000, hlm. 149-154.

  22. ^


    Astuti, Kabul (Oktober 2022).
    Kronologi Majalah Bersopan santun Jawa intern Pelestarian Sastra Jawa. International Seminar On Austronesian – Non Austronesian Languages and Literature. Bali.





  23. ^


    Pick, Albert (1994).
    Standard Catalog of World Paper Money: General Issues. Colin R. Bruce II and Neil Shafer (editors) (edisi ke-7th). Krause Publications. ISBN 0-87341-207-9.





  24. ^


    “Mesin Ketik Huruf Jawa”.
    Museum Penerangan
    . Diakses terlepas
    8 November
    2022
    .





  25. ^

    Molen 1993, hlm. 83.

  26. ^

    Robson 2022, hlm. 25.

  27. ^


    Hadiwidjana, R. D. S. (1967).
    Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab: titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa. U.P. Indonesia. hlm. 9.





  28. ^


    Chandler, David P (1993).
    A History of Cambodia. Silkworm books. ISBN 9747047098.





  29. ^


    Lowenberg, Peter (2000). “Writing and Literacy in Indonesia”.
    Studies in the Linguistic Sciences.
    30
    (1): 135–148.





  30. ^

    Robson 2022, hlm. 27-28.
  31. ^


    a




    b




    Wahab, Abdul (Oktober 2003).
    Kala nanti Bahasa, Sastra, dan Huruf Daerah
    (PDF). Kongres Bahasa Indonesia VIII. Kelompok B, Ruang Rote. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia. hlm. 8-9.





  32. ^


    Florida, Nancy K (1995).
    Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophesy in Colonial Java. Duke University Press. hlm. 37. ISBN 9780822316220.





  33. ^


    Mustika, I Ketut Sawitra (12 Oktober 2022). Atmasari, Nina, ed. “Alumni Sastra Jawa UGM Bantu Koreksi Tulisan Jawa pada Gawang Nama Jalan di Jogja”. Yogyakarta: Singularis Pos. Diakses tanggal
    8 Mei
    2022
    .





  34. ^


    Eswe, Hana (13 Oktober 2022). “Parameter Jalan Beraksara Jawa Salah Tulis Dikritik Penggiat Budaya”. Grobogan: Suara Baru. Diakses tanggal
    8 Mei
    2022
    .




  35. ^


    a




    b




    Siti Fatimah (27 Februari 2022). “Bangkitkan Kongres Bahasa Jawa Setelah Sunyi Suri”. Bantul: Radar Jogja. Diarsipkan dari versi kalis tanggal 2022-06-19. Diakses terlepas
    25 Mei
    2022
    .




  36. ^


    a




    b




    c



    Everson 2008, hlm. 1-2.
  37. ^


    a




    b




    c




    d




    Poerwadarminta, W J S (1930).
    Serat Mardi Kawi
    (PDF).
    1. Solo: De Bliksem. hlm. 9-12.




  38. ^


    a




    b



    Darusuprapta 2002, hlm. 11-13.

  39. ^


    Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed.
    Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 143, entri 4. ISBN 9024761786.





  40. ^


    Zoetmulder, Petrus Josephus (1982). Robson, Stuart Owen, ed.
    Old Javanese-English Dictionary. Nijhoff. hlm. 1191, entri 11. ISBN 9024761786.




  41. ^


    a




    b




    c




    Woodard, Roger D (2008).
    The Ancient Languages of Asia and the Americas. Cambridge University Press. hlm. 9. ISBN 0521684943.




  42. ^


    a




    b



    Everson 2008, hlm. 18.

  43. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 13-15.

  44. ^

    Poerwadarminta 1930, hlm. 11.

  45. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 20.

  46. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 16-17.

  47. ^


    Padmasusastra (1917).
    Layang Carakan. hlm. 16.





  48. ^


    Dwijasewaya (1910).
    Paramasastra Jawa. hlm. 21.





  49. ^


    Hollander, J J de (1886).
    Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en Letterkunde. Leiden: Brill. hlm. 3.





  50. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 19-24.

  51. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 24-28.

  52. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 29-32.

  53. ^

    Everson 2008, hlm. 2.

  54. ^

    Everson 2008, hlm. 4.

  55. ^

    Darusuprapta 2002, hlm. 44-45.
  56. ^


    a




    b




    c



    Everson 2008, hlm. 4-5.

  57. ^

    Everson 2008, hlm. 5.

  58. ^

    Behrend 1996, hlm. 188.
  59. ^


    a




    b



    Behrend 1996, hlm. 190.

  60. ^

    Behrend 1996, hlm. 189-190.

  61. ^


    Saktimulya, Sri Ratna (2016).
    Skrip-skenario Skriptorium Pakualaman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 602424228X.





  62. ^

    Robson 2022, hlm. 13-14.

  63. ^

    Rochkyatmo 1996, hlm. 8-11.
  64. ^


    a




    b



    Everson 2008, hlm. 5-6.

  65. ^


    Ricci, Ronit (Desember 2022). “Reading a History of Writing: heritage, religion and script change in Java”.
    Itinerario. Leiden.
    39
    (03): 424. doi:10.1017/S0165115315000868.





  66. ^

    Rochkyatmo 1996, hlm. 35-41.

  67. ^

    Rochkyatmo 1996, hlm. 51-58.

  68. ^


    Rabuk Katoerangganing mbok Koetjing
    (ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ), diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, musim 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Kewarganegaraan Belanda, No 859 B33.

  69. ^


    Kern, Hendrik (1900).
    Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht. ’s Gravenhage: Martinus Nijhoff.





  70. ^


    Santoso, Soewito (1980).
    Rāmāyaṇa Kakawin.
    II. New Delhi: International Academy of Indian Culture. hlm. 398.





  71. ^


    Tinggen, I Nengah (1993).
    Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha. hlm. 7.





  72. ^


    Medra, I Nengah (1998).
    Pedoman Pasang Huruf Bali. Denpasar: Dinas Tamadun Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. hlm. 44.





  73. ^


    Sutjaja, I Gusti Made (2006).
    Kamus Inggris, Bali, Indonesia. Runjung Widya Suari bekerjasama dengan Penerbit Univ. Udayana. ISBN 9798286855.




  74. ^


    a




    b




    Hamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2014). Ghazali, A. Syukur; Poerno, Heru Asri, ed.
    Sekkar Anom I
    (privat bahasa Madura). Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. hlm. 148.





  75. ^


    Sukardi, A. (2005).
    Kasustraan Madura Kembang Sataman
    (dalam bahasa Madura) (edisi ke-2). Jember: Dinas Pendidikan Kabupaten Jember.





  76. ^

    Kiliaan 1897, hlm. 89.

  77. ^


    Wedhawati (2001).
    Manajemen Bahasa Jawa Kontemporer. Jakarta: Pusat Bahasa. hlm. 39–40. ISBN 9796851415.





  78. ^


    Davies, William D. (2010).
    A Grammar of Madurese
    (dalam bahasa Inggris). Berlin: Walter de Gruyter. hlm. 53. ISBN 9783110224443.





  79. ^

    Kiliaan 1897.

  80. ^


    Hamzah, Bambang Hartono; Sayunani, Isya; Gani, Abdul; Dradjid, H.M. (2015).
    Sekkar Anom 2
    (kerumahtanggaan bahasa Madura). Surabaya: Dinas Pendidikan Kewedanan Jawa Timur. hlm. 155.





  81. ^

    Kiliaan 1897, hlm. 97.

  82. ^


    Ashadi, Moh. Makhfud; al Farouk, Ghazi (1992).
    Kosa Kata Basa Madura
    (dalam bahasa Madura). Surabaya: Sarana Ilmu.





  83. ^


    Koesoemo, R. Sosro Danoe; M. Partosoegondo (1922).
    Gerbang oreng megha djhoeko e’tana Djhaba sareng Madhoera
    (n domestik bahasa Madura). Balai Poestaka.




Daftar pustaka

  • Poerwadarminta, W.J.S (1939).
    Baoesastra Djawa
    (kerumahtanggaan bahasa Jawa). Batavia: J.B. Wolters. ISBN 0834803496.



  • Arps, B (1999). “How a Javanese Gentleman put his Library in Order”.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
    155
    (3): 416-469.



  • Behrend, T E (1993). “Manuscript Production in Nineteenth Century Java. Codicology and the Writing of Javanese Literary History”.
    Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
    149
    (3): 407–437. doi:10.1163/22134379-90003115.



  • Behrend, T E (1996). “Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition”. Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn.
    Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia
    (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496.



  • Everson, Michael (6 Maret 2008). “Tawaran for encoding the Javanese script in the UCS”
    (PDF).
    ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3319R3).



  • Molen, Willem van der (1993).
    Javaans Schrift.
    Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden
    (intern bahasa Belanda). Semaian 8. Leiden: Rijksuniversiteit te Leiden. ISBN 90 73084 09 1.



  • Molen, Willem van der (2000). “Hoe Heft Zulks Kunnen Geschieden? Het Begin van de Javaanse Typografie”. Internal Willem van der Molen.
    Woord en Schrift in de Oost. De betekenis van zending en missie voor de studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie
    (n domestik bahasa Belanda). Semaian 19. Leiden: Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden. hlm. 132-162. ISBN 9074956238.



  • Moriyama, Mikihiro (Juni 1996). “Discovering the ‘Language’ and the ‘Literature’ of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java”
    (PDF).
    Southeast Membujur Studies.
    34
    (1): 151–183.



  • Robson, Stuart Owen (2011). “Javanese script as cultural artifact: Historical background”.
    RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs.
    45
    (1-2): 9-36.



  • Rochkyatmo, Amir (1 Januari 1996).
    Pelestarian dan Modernisasi Huruf Daerah: Urut-urutan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa
    (PDF). Direktorat Jenderal Kebudayaan.



Pedoman penulisan

  • Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari, Soerakarta (1926).
    Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi dalasan Angka. Badan legislatif Sriwedari. Weltevreden: Landsdrukkerij.




    Dikenal juga laksana
    Wewaton Sriwedari
    atau
    Paugeran Sriwedari. Terjemahan bahasa Indonesia dapat dibaca di sini
  • Darusuprapta (2002).
    Pedoman Penulisan Abc Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Wilayah Istimewa Yogyakarta, Daerah tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Timur. ISBN 979-8628-00-4.



Bahasa Sanskerta dan Kawi

  • Poerwadarminta, W J S (1930).
    Baja Mardi Kawi.
    1. Khas: De Bliksem.



  • Poerwadarminta, W J S (1931).
    Baja Mardi Kawi.
    2. Solo: De Bliksem.



  • Poerwadarminta, W J S (1931).
    Serat Mardi Kawi.
    3. Khusus: De Bliksem.



Bahasa Sunda

  • Holle, K F (1862).
    Soendasch spel- en lees boek, met Soendasche letter. Batavia: Landsdrukkerij.



Bahasa Madura

  • Kiliaan, Hendrik Nicolaas (1897).
    Madoereesche spraakkunst. Batavia: Landsdrukkerij.




  • Sorat tjarakan Madurah. Batavia. 1866.



Pranala luar

Koleksi digital

  • Koleksi naskah British Library
  • Koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
  • Kumpulan naskah Yayasan Sastra Lestari
  • Koleksi acuan Widyapustaka
  • Southeast Asia Digital Library
    himpunan Northern Illinois University

Skrip digital

  • Babad Petak Jawi
    (1862) koleksi Taman bacaan Kongres AS no. DS646.27
  • Garitan utang plong selempir lontar (1708) antologi British Library no. Sloane MS 1403E
  • Kamus bahasa Melayu-Jawa-Madura dari awal abad ke-19, koleksi British Library no. MSS Malay A 3
  • Himpunan pertinggal Keraton Yogyakarta (1786–1812) koleksi British Library no. Add Ms 12341
  • Papakem Pawukon
    dari Bupati Sepuh Demak di Bogor (1814) himpunan British Library no. Or 15932
  • Selang Hamengkubuwana I
    (1812) koleksi British Library no. Add MS 12337
  • Raffles Paper
    – vol III (1816) kumpulan surat-manuskrip yang dituruti Raffles berasal penguasa-penguasa Nusantara, koleksi British Library no. Add MS 45273
  • Serat Jaya Lengkara Wulang
    (1803) koleksi British Library no. MSS Jav 24
  • Rabuk Selarasa
    (1804) himpunan British Library no. MSS Jav 28
  • Usana Bali
    Diarsipkan 2022-06-19 di Wayback Machine. (1870) salinan Jawa dari sebuah lontar Bali berjudul sama, antologi Perpustakaan Nasional Indonesia no. CS 152
  • Dongèng-dongèng Pieuntengen
    (1867) himpunan dongeng berbahasa Sunda dan beraksara Jawa yang dikompilasikan oleh Muhammad Musa

Lainnya

  • Ajuan Unicode cak bagi aksara Jawa
  • Dokumentasi Unicode mengenai diakritik KERET
  • Pengarsipan Unicode mengenai diakritik CAKRA
  • Dokumentasi Unicode mengenai diakritik PENGKAL
  • Dokumentasi Unicode mengenai diakritik Bantu
  • Blog Studi Asia-Afrika British Library, topik Jawa
  • Kata sandang aksara Jawa di omniglot.com
  • Character Picker
    aksara Jawa maka dari itu Richard Ishida
  • Laman transliterasi aksara Jawa makanya Benny Lin
  • Unduh tanda baca fonem Jawa di situs web Tuladha Jejeg, Fonem di Nusantara, atau repositori Google Noto



Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Jawa