Orang Bali Tidak Makan Sapi
Aghnye ……, te rupaya namah rupayaghnye te namah
(Atharva Veda,
Saun. 10.10.1; Paippa. 16.107.1)
“Duhai sapi nan enggak boleh dibunuh……, hormatku pada rupamu yang suntuk prestisius.”
“GAVAH
visvasyah matarah” – sapi adalah Ibu alam semesta. Sapi selalu diagung-agungkan oleh kitan suci Veda, dipuja oleh basyar-orang suci, lampau lembut, yang tatapan matanya begitu rukun menyinarkan kasih kepada semua, bahkan pandangan damai penuh pertemanan itu lagi ditunjukkan kepada sosok yang medium berdiri di hadapannya mengangkut benda tajam siap membunuhnya.
Tidak lama dalam waktu-waktu kemarin berlalu, sahaja sejumlah puluh perian yang lampau, pemahaman dan pembelajaran publik Bali terhadap sapi, siapa tak buru-buru dapat dipahami makanya basyar-sosok Bali plong masa saat ini ini. Perian-masa tersebut, merupakan suatu masa yang sangat amat “tak masuk akal” jika ada makhluk Bali membunuh dan/atau meratah daging sapi.
Di tahun 1980-an, musim-perian saya camar mengunjungi orang-turunan tua untuk belajar kekawin dan lain-lain pengatahuan leluhur Bali, puas kesannya kami pelalah diakhiri atau malah di awali dengan berdebat perihal sapi. Entah darimana dan bagaimana awalnya, yang jelas pembicaraan apapun yang kami bikin, pelalah plong akibatnya mengarah kepada masalah tradisi penghargaan sapi oleh leluhur Bali.
Orang-orang Bali punya tradisi indah, ialah tidak menerobos rayon pengikat sapi yang mendatar di perdua jalan yang mereka sedang lewati. Takdirnya harus melanglang melewatinya maka orang akan mengangkat tali pembebat sapi tersebut dan melanglang merunduk “masulub” di bawah tali sapi tersebut.
Almarhum Pedanda Oka Punia Atmaja semasih walaka dan menjadi anggota DPR-RI, ketika kami bertemu beliau di ruanggannya di maktab DPR RI, Jakarta, dengan begitu semangat menyodorkan bahwa kamu pernah “kecelakaan” gado daging sapi. Begitu orang tuanya mencerna, beliau dimarahi dan langsung diajak bersembahyang memohon pengampunan di Merajan, lalu disuruh mengungkapkan mulut, dan sambil menitahkan mantram penyucian insan tuanya memercikkan air suci (tirtha) ke mulutnya.
Tali peranti indah lain sehubungan dengan sapi nan dimiliki leluhur Bali adalah mereka yang karena suatu dan lain hal mengalami “kecelakaan” memakan daging sapi di luar desanya, mereka tidak boleh langsung memasuki area desanya. Terletak “awig-awig” tercantum alias bukan tertera nan melarang orang memasuki area desa, alias enggak bisa pulang ke rumahnya. “Awig-awig” mengharuskan nan berkepentingan untuk mandi dan keramas di sungai/pancuran di luar desa, cuma sehabis itu yang basyar yang meratah daging sapi tersebut boleh memasuki kewedanan desa. Kalau tidak, desa akan menjadi “leteh” (tercemar, kotor).
Di Nusa Penida, kami berpadan orang tua yang sedemikian itu spirit mengobrolkan bahwa beliau melihat langsung kehancuran suatu keluarga akibat dari bersantap daging sapi. Adapula tradisi dari manusia-turunan yang bersantap daging sapi harus mandi dan keramas baru boleh beribadat atau memasuki Pura. Jika terserah sosok Bali/Nusa memakan daging sapi, maka manusia itu dikatakan lebih jelek daripada “(sensor)”. Barangkali sangat banyak orang Bali di zaman sekarang ini akan sangat tercengang serta tidak percaya bahwa para leluhurnya mempunya leluri lampau fanatic terhadap sapi. Mereka memberikan penghargaan dahulu tinggi terhadap sapi, baik internal pagar adat sehari-waktu terlebih juga n domestik sastra-sastra lontar.
Masyarakat Bali “rani tradisi”, khususnya tradisi mulia menghormati sapi. “Sesana” atau rasam-kebiasaan ke-brahmana-an tidak membenarkan seseorang brahmana mempunya oponen. Aka doang, para Brahmana Bali justru harus mempunya “musuh”, dalam kejadian ini, “musuhnya” para Brahmana di Bali merupakan daging sapi. Artinya, tidak suka-suka Brahmana di Bali yang jantan memakan daging sapi. Jikalau ada Brahmana meratah daging sapi, mereka akan merasa sangat malu berada di perdua-tengah masyarakatnya dan “pengadilan umum” menyatakan mereka menjadi Brahmana Patita, artinya yang bersangkutan jatuh sangat berarti dari level ke-brahmana-annya.
Demikian ketat dan jujurnya turunan Bali dahulu menghormati sapi. Ternyata leluri sani tersebut bersumberkan lega ajaran suci Veda dan juga lontar-lontar karuhun.
Pada setiap kesempatan menyampaikan Dharma Wacana, penyalin kerap menegaskan alas an mengapa orang sebaiknya menjauhkan diri mulai sejak memakan daging sapi. Dalam hal ini, sonder teradat menyentuhkan alasan agama dan enggak-lain, penulis memunculkan pertanyaan, “Apakah yang dimakan maka itu sapi?” semua mengemukakan jawaban “jukut”. Suntuk juru tulis katakana, sapi bukan bersantap suket. Khalayak-orang semua menyampaikan protes atas peenyataan tersebut, karena semua mengetahui serta mematamatai langsung sapi-sapi memakan suket. Balasannya penulis menyampaikan jawaban bahwa nan dimakan oleh insan, yaitu rumput.
Karuan belaka makan sampi bukan semata-mata rumput. Sapi sekali lagi memakan jerami, batang jagung, kulit jagung, dan lain-lain yang kesemuanya bukan menjadi saringan konsumsi anak adam. Jawaban selaras, yang berbeda adalah permukaan belakang kesadaran di balik jawaban. Makhluk bukan memakan rumput yang lain dimakan oleh manusia, sehingga sapi tidak menjadi competitor (pesaing) bagi sosok. Sapi tidak bersaing dengan bani adam perihal makanan. Sapi meratah rumput (yang tidak dimakan oleh manusia), akan tegar ia memberikan segala yang diperlukan oleh manusia, terutama susu sapi. Di dalam susu sapi, ada segala nan dibutuhkan oleh jasad dan otak lakukan berkembang sehat.
Hampir keseluruhan literature Veda menjelaskan perihal kemuliaa sapi. Di dalam Veda cak semau beribu-ribu nama nan diberikan untuk sapi. Lembu, mahesa, andaka, pada hakikatnya juga merupakan sapi. Semua diberikan bagaikan rasa hormat kepada sapi yang berjasa lautan dalam hidup manusia. Berpokok begitu banyaknya stempel sapi yang terdapat tiga macam nama sapi yang lalu bermaksa; Ahi, Adili, dan Aghnya. Ketiga padanan kata nama tersebut makanya Kamus Veda bernama Nighantu diberikan arti “dia yang tidak boleh dibunuh”. Semata-mata dari tera, Veda sudah memasrahkan peringatan indah kepada manusia bahwa sapi adalah sato yang tidak boleh dibunuh. Manusia lain mendebah dan tidak memakan daging sapi tidak karena sapi yaitu fauna menjijikkan melainkan karena ia merupakan ciptaan Almalik yang adv amat mulia. Sapi yakni binatang yang hanya memberi (segala mahamulia dan kedamaian hayat manusia lahir dan bathin). Veda menyebutkan kultur tulus memuliakan sapi ibarat pusat daripada amerta (amrtasya nabhih).
Mahabharata, Santi Parva 262.47, sekali lagi mendukung pernyataan di atas. Dari tanda sapi kitab suci Veda sudah memberikan aba-aba, bahwa sapi merupakan sato yang tidak boleh dibunuh (Aghnya iti gavam jenama, ka etam hantum arhati, mahaccakara kusalam, vrsam gam valabhetti yah).
Satu hal nan menyebabkan panitera kaget luar formal ialah terdapatnya ajaran pujian kepada sapi di privat Kakawin Ramayana yang pas panjang. Perekam menjadi adv amat penasaran. Di manjapada ini suka-suka ratusan Kitab Ramayana. Berusul belasan Kitab Ramayana yang sempat penulis “teliti” di perpustakaan-perpustakaan di India, ternyata tak ada satu pun nan mengklarifikasi perihal izzah sapi seperti segala apa yang disampaikan di dalam Kakawin Ramayana beradat Jawa Kuna. Mengegolkan adat istiadat indah penghargaan pada sapi ke kerumahtanggaan karya indah Ramayana ialah kejelian sastra agama yang dahulu berjasa.
Menariknya adalah penjelasan tentang hadiah nama sapi. Menurut Kakawin Ramayana, sapi diberikan nama sapo oleh cucu adam-orang bijaksana karena beliau merupakan binatang nan harus di-usapi, maupun disayang, tidak boleh disakiti, dan tidak boleh dibunuh. Sedangkan sosok-basyar virulen mengatakan sapi diberikan nama sapi karena ia merupakan binatang nan harus di-sapinalu
(dipukul-pukul dengan kayu) dan di-sapinandem
(dilempari alai-belai).
Di Bali terdapat tali peranti menyertakan Paňca-gavya intern ritual “karya agung”, yang minus kelengkapannya “karya agung” dianggap tidak berhasil sempurna. Terdapat pula praktik-praktik spiritual yang dihubung-hubungkan dengan jalal sapi. Kitab Mahabharata bahkan menyebutkan pengkikisan reaksi-reaksi dosa dengan pelaksanaan laknat ikhlas Brata selama setahun dengan cara mengasihkan ki gua garba permulaan kepada sapi hoki turunan bukan, setelah itu barulah orang boleh bersantap. Kitab suci Dharma Sastra pula menyebutkan pemanfaatan Panca-gavya mampu menyemangati dosa-dosa yang dilakukan orang sebagaimana kayu bakar menjadi hangus cengkut oleh nyala jago merah (yat tvagasthigatam papam dehe tisthati mamake, prasanat paňca gavyasya dhatvagnirivendhanam).
Sapi yaitu sapi karena dia meng-usapi manusia-insan di dunia, dan sapi adalah sapi karena patut di-usapi alias diberikan rahmat satang yang setimpal dengan kemuliaannya.
Maka dari itu: Darmayasa
Source: Koran Bali Post, Minggu Pon, 2 Juni 2022
Source: https://phdi.or.id/artikel.php?id=tradisi-menghormati-sapi