YOGYAKARTA-Bedhaya Semang secara legendaris diyakini yakni sebuah tari warisan peninggalan imperium Mataram, nan kemudian diwarisi oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hanya demikian keberadaannya dalam setiap masa tadbir mengalami urut-urutan yang berbeda, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat pendukungnya. Umpama pusaka tari pusaka, keberadaan Bedhaya Semang bisa dikatakan sangat misterius. Hal ini disebabkan Bedhaya Semang sangka-terka sejak satu abad yang adv amat tetapi dikenal internal bentuk salinan belaka, sungguhpun berita yang didengar itu tersebar sekali lagi bahwa Bedhaya Semang adalah induk dari bedhaya dan serimpi.

“Bedhaya privat perkembangannya semula selalu mendampingi kehidupan yang dipertuan. Meskipun dalam perjalanannya mengalami jalan yang berbeda,”ucap Theresia Suharti, S.S.Horizon., M.S, ketika mempertahankan disertasinya yang berjudul Bedhaya Semang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Reaktualisasi Sebuah Tari Peninggalan, pada tentamen doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (28/3).

Suharti menjelaskan tradisi gaya Yogyakarta dalam seni tari menerobos Bedhaya Semang memberikan kesan bahwa sejak tadbir Sultan yang pertama tumbuh hingga mengaras pembakuan pada hari Pangeran yang kedelapan. N domestik tahun nan anak bungsu ini, kata Suharti, bersamaan dengan proses modernisasi budaya, sehingga banyak terjadi peremajaan, padahal nan adat istiadat balasannya di-‘deposisi’-ketel menjadi induk yang menjadi tumpuan perkembangannya.

“Dalam waktu ini dengan adanya pendidikan seni secara akademis, berpengaruh sekali lagi bahwa seni privat komunitas keraton juga menanamkan kepercayaan pula pada peguyuban akademisi dalam permukaan seni,”kata staf pengajar ISI Yogyakarta tersebut.

Melihat perkembangan ini maka Suharti menilai sinkronisasi dalam pemikiran ini dahulu setuju dengan konsep pemikiran dalam perspektif seni sekelas bakal mengimbangi perspektif sains. Lebih bermula itu sepatutnya ada melalui seni, akan membawa seseorang lebih berbudaya dalam kehidupannya.

Ia mengatakan bahwa proses reaktualisasi Bedhaya Semang ini yakni upaya penyelamatan sebuah gana nan sangat berharga karena apa nan terekam merupakan paparan hasil kecerdasan lokal yang pengolahannya penuh spekulatif. Menurut Suharti terkadang hal ini tidak mudah untuk dimengerti bagi generasi masa kini.

Dari penelitian yang dilakukan tersebut Suharti mengatakan bahwa keterusterangan Keraton Yogyakarta yakni jembatan yang suntuk berwujud buat boleh menyelamatkan aset budaya seperti mana halnya Bedhaya Semang, yang rani menunjukkan sebuah hasil perebusan kecerdasan lokal intern sebuah tari pusaka yang unik.

“Ini juga kondusif saya mengintai bahwa Bedhaya Semang yakni induk berbunga bedhaya dan serimpi, dan bahkan juga wayang patung wong, dan juga tari nan lain,”papar perempuan kelahiran Yogyakarta, 8 Februari 1947 ini.

Selama proses reaktualisasi yang dilakukannya buat para penari bisa lebih merasakan hal yang spekulatif, apa nan tergerak dalam kepenarian ini bukanlah cuma sekedar fisis, namun lagi jiwani. Keadaan ini, imbuh Suharti, sekali lagi dirasakan pula maka dari itu para pangrawit, dan juga para pasindhen.

“Demi menjaga kesakralan, proses reaktualisasi ini lain hanya secara teknis satu-satunya, hanya dilaksanakan melewati ‘laku’, sesuai dengan resan budaya dalam kehidupan komunitas keraton,”pungkas Suharti nan meraih doktor dengan predikat dulu memuaskan itu (Humas UGM/Satria AN)