Tauhid Asma Wa Sifat Adalah
Tauhid Asma’ was Shifat
merupakan bagian dari mentauhidkan (menyatukan) Allah dalam akidah Islam. Tauhid ini merupakan bentuk penerapan pengesaan dari turunan terhadap Yang mahakuasa mengenai nama-stempel-Nya dan sifat-kebiasaan-Nya, yang mana nama-nama dan sifat-kebiasaan ini telah diatributkan oleh-Nya sendiri.
Definisi
[sunting
|
sunting sumber]
Tauhid Asma’ was Shifat yaitu mengesakan Allah dengan cara menjadwalkan lakukan Allah label-logo dan sifat-sifat yang ditetapkan sendiri oleh-Nya (privat firmannya) maupun yang disebutkan oleh Utusan tuhan-Nya (dalam hadits), sonder mengilustrasikan (Takyif), menyerupakan dengan sesuatu (Tamtsil), menyimpangkan makna (Tahrif), atau bahkan menolak nama ataupun aturan tersebut (Ta’thil).[1]
Galangan hukum
[sunting
|
sunting mata air]
Dalil mengenai Tauhid Asma’ dan Sifat dari al-Quran di antaranya merupakan firman Allah nan artinya:
- “Hanya milik Allah nama-tera yang minimal baik, maka berdoalah kepada-Nya dengan menamai nama-keunggulan itu, dan tinggalkanlah bani adam-orang yang melebar dari kesahihan adapun nama-etiket-Nya.” (QS. al-A’raaf: 180)
- “Dan hanya bagi-Nya lah aturan yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa sekali lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ruum: 27)
- “Maka janganlah kalian mengadakan penyerupaan-penyerupaan lakukan Allah. Sesungguhnya Sang pencipta mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (An-Nahl: 74)
Dalil dari as-Sunnah di antaranya merupakan hadis ﷺ:
- “Sebenarnya Almalik memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa menghafalnya maka sira akan masuk suralaya.” (HR. at-Tirmidzi 3508)
- “Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang telah Kau namakan diri-Mu dengannya, atau Kau turunkan intern kitab-Mu, maupun Kau ajarkan kepada keseleo suatu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu.” (HR. Ahmad 3712)
Kelebihan
[sunting
|
sunting sumber]
N domestik Al-Qur’an disebutkan ayat yang artinya
“Tidak ada sesuatu pun nan serupa dengan-Nya. Dan Anda-lah Yang Maha Mendengar juga Maha Melihat.”
—Asy-Syuura: 11
Lafal ayat “Bukan terserah nan serupa dengan-Nya,” merupakan perlagaan kepada manusia yang mengimbangkan sifat-resan Sang pencipta dengan kebiasaan-sifat anak adam. Sedangkan lafal “Dan Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mematamatai,” ialah bantahan kepada orang yang menafikan (memungkiri/menjorokkan) adanya kebiasaan[2]
bagi Tuhan.
Prinsip adapun Nama dan Aturan Almalik
[sunting
|
sunting sumber]
Bilang kaidah internal memahami dan memercayai Tauhid Asma was Shifat:[3]
- Tanda dan sifat Allah yaitu sesuatu nan
tauqifiyah
(hanya beralaskan wahyu; tidak ditetapkan kecuali sekadar berlandaskan lafal al-Alquran dan as-Sunnah). - Religiositas adapun adat Allah seperti mana keyakinan tentang Dzat-Nya. Maksudnya, sifat, dzat, dan polah Allah lain serupa dengan apapun. Karena Halikuljabbar memiliki dzat secara hakiki dan dzat-Nya itu bukan serupa dengan dzat apapun selain-Nya, maka demikian sekali lagi kebiasaan-sifat Tuhan yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah menyandang resan-sifat tersebut secara hakiki dan enggak serupa dengan apapun.
- Semua stempel Allah yakni baik dan sebabat sekali tidak ada yang buruk, karena stempel-nama itu menunjukkan dzat yang memiliki nama tersebut yaitu Allah. Nama-tera itu menunjukkan sifat-resan keutuhan yang bukan mengandung kekurangan sedikitpun dari barang apa sisi.[4]
- Segel-nama Allah tidak sedikit pada jumlah tertentu. Rasul ﷺ bersabda: “Aku meminta kepada-Mu dengan segenap nama-Mu, yang sudah Kau namakan diri-Mu dengannya, maupun Kau turunkan internal kitab-Mu, atau Kau ajarkan kepada keseleo satu hamba-Mu atau Kau simpan di dalam ilmu ghaib yang cak semau di sisi-Mu.” (HR. Ahmad 3712)
Mandu Dasar Maka itu Rohaniwan Syafi’i
[sunting
|
sunting sumur]
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada segel-nama dan sifat-aturan Sang pencipta sesuai dengan barang apa yang dimaukan Tuhan dan Nabi-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah pangkal detik berbicara tentang nama-nama dan aturan-adat Allah perumpamaan berikut: “Aku berketentuan kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Almalik dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Almalik. Aku berkepastian kepada Rasulullah dan apa-apa nan datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan maka itu Rasulullah”
[5]
Jenis sifat Tuhan
[sunting
|
sunting mata air]
Sifat Tsubutiyyah
[sunting
|
sunting sumur]
Sifat Tsubutiyyah adalah setiap sifat nan ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi diri-Nya di n domestik Al-Qur-an atau melangkaui perkataan Rasulullah ﷺ. Semua adat-kebiasaan ini adalah sifat kesempurnaan, serta tidak menunjukkan sama sekali adanya cela dan kehilangan. Contohnya: Hayaah (spirit): ‘Ilmu (mengetahui), Qudrah (berkuasa), Istiwaa’ (berkampung)?
di atas ‘Arsy, Nuzuul (turun) ke langit terendah, Wajh (wajah), Yad (tangan) dan lain-lainnya. Sifat-sifat Halikuljabbar Subhanahu wa Ta’ala tersebut terlazim ditetapkan benar-benar sebagai hoki Allah sesuai dengan mahamulia dan kemuliaan-Nya, berdasarkan dalil naqli dan ‘aqli. Kebiasaan Tsubutiyyah terserah dua macam, yaitu Dzaatiyah dan Fi’liyah.
Resan Dzaatiyyah
yaitu sifat nan senantiasa dan selamanya teguh ada puas Diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti, Hayaah (hidup), Kalam (bercakap): ‘Ilmu (mengarifi), Qudrah (berkuasa), Iradah (ke-inginan), Sami’ (pendengaran), Bashar (penglihatan), Izzah (kemuliaan, keperkasaan), Hikmah (kebijaksanaan): ‘Uluw (keluhuran, di atas makhluk): ‘Azhamah (kemuliaan). Dan yang termaktub intern resan ini yakni Sifat Khabariyyah seperti adanya paras, yadan (dua tangan) dan ‘ainan (dua mata).
Sifat Fi’liyyah
adalah sifat yang terikat dengan masyi-ah (karsa) Allah Azza wa Jalla, seperti Istiwa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan Nuzul (ambruk) ke langit terendah, ataupun hinggap puas hari Yaumul akhir, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: “Dan datanglah Rabb-mu, sedang Malaikat bersaf-saf.” (Al-Fajr: 22)
Suatu sifat dapat terpenuhi kedua-duanya (sifat dzaatiyyah-fi’liyyah) ditinjau bermula dua segi, ialah asal (sosi) dan perbuatannya. Seperti kebiasaan Kalaam (ura-ura), apabila ditinjau dari segi bawah alias modalnya ialah rasam dzaatiyyah karena Allah Azza wa Jalla selamanya akan ki ajek merenjeng lidah, sahaja takdirnya ditinjau semenjak segi satu persatu terjadinya Kalaam adalah sifat fi’liyyah karena terdorong dengan masyiah (kehendak), dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara apa namun nan Dia kehendaki jika Dia menghendaki. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Ia menghendaki sesuatu hanyalah berfirman kepadanya: ‘Jadilah,’ maka terjadilah.” (Yaasiin: 82)
Aturan Salbiyyah
[sunting
|
sunting sumur]
Sifat Salbiyyah merupakan setiap sifat nan dinafikan (ditolak) Allah Subhanahu wa Ta’ala bikin diri-Nya melintasi Al-Qur-an atau titah Utusan tuhan-Nya ﷺ. Dan seluruh sifat ini merupakan sifat kekurangan dan tercela, contohnya; maut (kematian), naum (tidur), jahl (kebegoan), nis-yan (kelupaan), ‘ajz (kelemahan, ketidakmampuan), ta’ab (kelelahan). Sifat-sifat tersebut teradat dinafikan (ditolak) terbit Yang mahakuasa Azza wa Jalla, dengan disertai penetapan aturan kebalikannya secara sempurna. Misalnya, menafikan aturan maut (mati) dan naum (tidur) berarti telah menetapkan kebalikannya bahwasanya Almalik adalah Dzat Nan Maha Spirit, menafikan jahl (kebodohan) berarti menetapkan bahwasanya Tuhan Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya yang kamil.
Penyimpangannya Berpunca Dalil
[sunting
|
sunting sendang]
Ketika berbicara tentang rasam-aturan dan segel-tanda Allah nan menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita sudah lalu berbicara tentang Tuhan minus radiks mantra. Pasti yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Almalik merenjeng lidah: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan nan kejam, baik yang tampak ataupun yang gadungan, dan polah dosa, melanggar hak khalayak tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu nan Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) lakukan itu dan (mengharamkan) kalian merenjeng lidah tentang Allah tampa radiks aji-aji.” (QS. Al A’raf: 33).
Rujukan
[sunting
|
sunting sumber]
-
^
Berdasarkan mulut Ibnu Taimiyyah: “Manhaj Salaf dan para Imam Ahlus Sunnah memercayai Tauhid al-Asma’ wash Shifat ialah dengan menetapkan apa-apa nan telah Almalik tetapkan atas Diri-Nya dan sudah lalu ditetapkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi-Nya, sonder tahrif dan ta’thil serta tanpa takyif dan tamtsil. Mematok tanpa tamtsil, menerangkan minus ta’thil, menetapkan semua Kebiasaan-Sifat Allah dan menafikan paralelisme Rasam-Sifat Yang mahakuasa dengan makhluk-Nya.” -
^
merupakan sifat mendengar dan melihat, yang mana sifat mendengar dan melihatnya Yang mahakuasa berbeda dengan resan mendengar dan melihatnya orang. -
^
“Pertinggal pertinggal”. Diarsipkan dari versi masif tanggal 2022-03-01. Diakses rontok
2014-02-26
.
-
^
Sang pencipta berfirman yang artinya: “Hanya nasib baik Allah nama-cap yang terbaik.” (QS. al-A’raaf: 180); “Dan Allah punya permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60) -
^
Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad maka dari itu Muhammad kedelai Shalih Al Utsaimin peristiwa 36
Pranala asing
[sunting
|
sunting mata air]
- Pengertian Tauhid Asma Wa Sifat
- Tauhid Al-Asma wa Ash-Shifat Diarsipkan 2022-03-02 di Wayback Machine.
- Bulletin adapun Tauhid Al-Asma wa Ash-Shifat Diarsipkan 2022-03-01 di Wayback Machine.
- Yesaya 40:18
Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Tauhid_asma_dan_sifat